Babad Adipati Tjokro Djoyo Murid Tertua Sunan Ngerang

oleh -4,356 kali dibaca
Makam Adipati Tjokro Djoyo
Foto: Makam Adipati Tjokro Djoyo atau yang biasa disebut warga Eyang Tjokro Djoyo di Gang 8 Desa Sarirejo Kemiri. (Jarot/ISKNEWS.COM)

Pati, ISKNEWS.COM – Warga Kabupaten Pati mungkin sudah banyak yang mengetahui, jika di Desa Sarirejo Kemiri Kecamatan, Pati Kota, dulunya adalah pusat pemerintahan Kabupaten Pati, sebelum dipindah ke Kaborongan, Kelurahan Pati Wetan. Hal tersebut terlihat dengan adanya Pendopo Kabupaten Pati yang masih berdiri kokoh di Desa Sarirejo Kemiri.

Sayangnya, sebagian masyarakat Bumi Mina Tani masih banyak yang belum tahu tentang peninggalan sejarah apa saja yang ada di Desa Sarirejo Kemiri. Berangkat dari sana, kami tergugah untuk mengulik sejarah sebuah makam yang terletak di tengah-tengah permukiman warga Gang 8 Desa Sarirejo Kemiri, Sabtu (24-02-2018).

Berdasarkan informasi turun-temurun dari warga sekitar (budaya tutur -red), makam tersebut adalah Makam Adipati Tjokro Djoyo atau yang biasa disebut warga Eyang Tjokro Djoyo.

Diceritakan oleh Wijanarko Spiritual Desa Sarirejo, bahwa Adipati Tjokro Djoyo ialah seorang Adipati yang memimpin pemerintahan pada awal masuknya Islam di pesisir Pantai Utara Jawa yang terletak di sekitar Bengawan (sungai) Silugonggo, yakni di Tanjungpuro yang sekarang dikenal sebagai Desa Jepuro, Kecamatan Juwana, Pati.

Dia tak lain adalah murid tertua dari Sunan Ngerang bersama Adipati Mondoliko Pathakwarak, Said Kusumastuti atau Sunan Muria, Adipati Buntar Joko Pilang alias Maling Kopo, dan kedua putri Sunan Ngerang kakak beradik Roroyono serta Roro Pujiwat.

Makam Adipati Tjokro Djoyo 2
Foto: Makam Adipati Tjokro Djoyo atau yang biasa disebut warga Eyang Tjokro Djoyo di Gang 8 Desa Sarirejo Kemiri. (Jarot/ISKNEWS.COM)

Kesaktian Adipati Tjokro Djoyo dituturkan, ketika ia mampu menghabisi adik seperguruannya yaitu Adipati Bantar Joko Pilang alias Maling Kopo, serta adiknya Maling Kentiri yang mencuri anak Sunan Ngerang, Roroyono yang tak lain istri dari Said Kusumastuti (Sunan Muria).

Peristiwa tersebut bermula, ketika adanya proses perjodohan antara Said Kusumastuti (Sunan muria) dengan Roroyono yang diawali dengan konflik berkepanjangan, antara sesama murid perguruan Ngerang. Lantaran, Adipati Mondoliko Pathakwarak yang menaruh hati terhadap Roroyono putri Sunan Ngerang ternyata ditolak secara mentah-mentah. Sehingga, mendengar kabar perjodohan tersebut, ia langsung marah besar dan upaya membawa lari Roroyono pun tak terhindarkan.

Mendapati putrinya diculik oleh muridnya sendiri, Sunan Ngerang mengutus Joko Pilang alias Maling Kopo yang tak lain teman seperguruaan Adipati Mondoliko Patakwarak untuk mengambil kembali putrinya Roroyono, istri Said Kusumastuti.

Keberhasilan Maling Kopo menyelesaikan permasalahan di perguruan Ngerang dengan menewaskan Pathakwarak dan berhasil membawa kembali Roroyono Kembali ke Ngereng. Tak lain berkat dari adiknya Maling Kentiri yang ditolong oleh penghuni Pulau Seprapat, Datuk Lodang.

Sebelum Maling Kopo dan Adiknya Maling Kentiri mempu mengambil Roroyono dari tangan Adipati Mondoliko Patakwarak, mereka berdua terlebih dahulu diangkat sebagai murid oleh Datuk Lodang tokoh sakti yang bertubuh manusia, tapi berwajah dan berwujud kera.

Terbunuhnya Adipati Pathakwarak, karena Maling Kopo berhasil mencuri kitab kuno yang berisi kelemahan semua murid Perguruan Ngerang. Kematian Pathakwarak tak lain karena keampuhan pusaka Tombak Guntur Geni, milik gurunya yaitu Datuk Lodang.

Atas jasanya berhasil mengembalikan Roroyono, Maling Kopo pun diberi ganjaran “Bumi Sigar Semangka” dan menjadi Adipati di Buntar atau yang sekarang dikenal sebagai Desa Bendar, juga di Kecamatan Juwana.

Lebih lanjut, setelah Maling Kopo berkuasa sebagai Adipati di Bumi Buntar, ia merasa dilecehkan oleh para punggawanya, karena sebagai Adipati dia dianggap tidak punya keberanian untuk mempunyai istri.

Dengan menjadikan adiknya Maling Kentiri yang sebagai tumpuan kesalahan, mengingat ketika berhasil mengembalikan Roroyono ke Ngerang, mereka oleh Sunun Ngerang sudah disuruh memilih ganjarannya, yaitu dijodohkan dengan Roroyono atau memilih Bumi Buntar. Hingga pada Akirnya berkat bujukan dari adiknya Maling Kopo memilih yang terakhir yaitu Bumi Buntar.

Maka dari situlah Maling Kentiri diperintahkan mencuri Roroyono yang secara resmi sudah menjadi istri Said Kusumastuti (Sunan Muria) untuk dibawa ke Bumi Buntar.

Dimulai dari sinilah, pertempuran hebat sosok Adipati Tjokro Djoyo terjadi. Pasalnya, anak Tjokro Djoyo yang bernama Ronggojoya ternyata diam-diam mencintai bibinya sendiri Roropujiwat dan meminta untuk segera dilamarkan, adanya hal itu membuat Tjokro Djoyo tak kuasa untuk menolak permintaan anaknya tersebut.

Hingga pada akirnya, ditengah konfilik yang kembali melanda Perguruan Ngerang kian runyam, datanglah Adipati Tunjungpuro Tjokro Djoyo, yang secara tiba-tiba melamar Roro Pujiwat anak kedua Sunan Ngerang adik dari Roroyono dan untuk dinikahkan dengan anaknya Ronggojoyo.

Sontak, kedatangan Adipati Tjokro Djoyo untuk melamar Roro Pujiwat pun mengagetkan Sunan Ngerang dan terkesan tidak masuk akal. Lantaran, Roro Pujiwat ialah adik seperguruan Tjokro Djoyo dan Roro Pujiwat sudah menganggap anak Tjokro Djoyo yaitu Ronggo Djoyo seperti keponakannya sendiri.

Kemelut hilangnya Roroyono istri dari Said Kusumastuti (Sunan Muria) yang disebabkan oleh ulah Maling Kopo dan Maling Kentiri, membuat Sunan Ngerang meminta kepada Tjokro Djoyo untuk mengambil kembali Roroyono dari tangan adik seperguruannya sendiri yaitu Maling Kopo, dengan imbalan jika berhasil mengambil kembali Roroyono dari tangan Maling Kopo ia akan merestui jika Roropujiwat dinikahkan dengan anaknya.

Mendapati hal tersebut Tjokro Djoyo langsung melaksakan perintah dari Sunan Ngerang, dengan didasari pengabdian kepada sang guru dan rasa tanggungjawab ke pada sang anak.

Dengan mengerahkan seluruh kesaktiannya, Adipati Tjokro Djoyo mendatangi Kadipaten Buntar untuk meminta kembali Roronyono dari tangan adik seperguruannya Maling Kopo. Di tengah diskusi untuk meminta kembali Roroyono tidak menemukan titik temu, akhirnya terjadilah pertikaian di antara mereka.

Maling Kopo yang dibantu adiknya Maling Kentiri, dengan menggunakan ilmu andalan mereka yaitu Sirep Panglimunan dan senjata tombak Guntur Geni yang dicuri dari gurunya Datuk Lodang penguasa Pulau Seprapat, akirnya mengkroyok Adipati Tjokro Djoyo.

Namun Maling Kopo dan Maling Kentiri tidak mampu mengalahkan Tjokro Djoyo, hingga akirnya mereka berdua harus meregang nyawa di tangan Tjokro Djoyo.

Setelah mampu mengambil kembali Roroyono dari tangan Maling Kopo dan Maling Kentiri, kemudian Tjokro Djoyo menyerahkan kedua jasad yang tewas ditangannya tersebut kepada Sunan Ngerang untuk disemayamkan.

Setelah pertikaian antara Tjokro Djoyo dengan Maling Kopo dan Maling Kentiri usai, permasalah pun kemali muncul. Setelah Roropujiwat mengajukan sebuah persyaratan yang tidak masuk diakal, yaitu sebelum melangsungkan pernikahan dengan Ronggojoyo dirinya minta diambilkan Pintu Gerbang Kaputren Kerajaan Mojopahit dan ditaruh ke tempat Padepokan Pegunungan Muria Said Kumastuti (Sunan Muria) dengan kakaknya Roropujiwat di puncak Gunung Muria sebelum terdengar suara ayam jago berkokok atau sebelum kentong tabuh dua (tanda Salat Subuh -red).

Karena demi cintanya Ronggojoyo kepada Roropujiwat, diaminilah permintaannya tersebut. Sehingga Pintu Gerbang Kaputren Mojopahit pun diangkatnya.

Saking kuatnya Pintu Gerbang Kaputren Mojopahit tersebut, di tengah perjalanya menuju puncak Gunung Muria, langkah Ronggojoyo harus terhenti di Desa Muktiharjo, Dukuh Rendole, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Karena Sudah terdengar suara ayam jantan berkokok.

Mengetahui bahwa dirinya gagal membawa Pintu Gerbang Kaputren Mojopait ke tempat padepokan Said Kusmastuti (Sunan Muria), dengan rasa kecewa dilemparlah ganjal pintu oleh Ronggojoyo ke arah Roropujiwat, hingga mengakibatkan meninggalnya Roropujitat.

Mengetahui Roropujiwat meninggal karena terkena ganjal pintu yang dilemparnya, Ronggojoyo kemudian mengahiri hidupnya sendiri. Tempat meninggalnya Roropujiwat sampai sekarang dikenal sebagai Segelap yang terletah di sepanjang jalan Pati-Juwana, tepatnya di sebelah Utara Pom Bensin Mbagu.

Mengetahui anaknya meninggal dunia, kemudian Cokro Joyo menuntut ganti rugi kepada Said Kusumastuti (Sunan Muria) atas kematian anaknya, Ronggo Joyo. Pasalnya, waktu itu Sunan Muria pernah menyatakan sanggup membantu memperlancar niat Tjokro Djoyo untuk dapat mengawinkan Ronggojoyo dengan Roropujiwat.

Asalkan Tjokro Djoyo bisa mengembalikan istrinya, Roroyono dari tangan Maling Kopo. Apalagi waktu itu Roroyono sudah dalam keadaan hamil.

Bertepatan dengan meninggalnya Ronggojoyo, lahirlah bayi laki-laki dari Rahim Roroyono istri Sunan Muria, sehingga untuk menebus rasa bersalah diberikanlah bayi laki-laki tersebut kepada Tjokro Djoyo untuk ganti atas kematian Ronggo Joyo.

Adipati Tjokro Djoyo sadar dan bersedia menerima ganti tersebut, mungkin karena dilempar setangkai bunga oleh adik seperguruannya Roroyono, sehingga hatinya luluh tapi bayi laki-laki yang baru lahir tersebut belum dikasih nama.

Oleh Cokro Joyo dipilihkan tiga nama untuk bayi itu, masing-masing Kesumo Joyo, Sekar Joyo, dan Kembang Joyo. Dipilihlah nama yang disebut terakhir yaitu Kembang Joyo.

Setelah dewasa, ternyata Kembang Joyo berhasil menjadi penguasa di Kadipaten Pati Pesantenan. Mengingat Adipati Cokro Joyo sebagai orang yang mengasuh dan membesarkan, maka atas jasanya ketika meninggal jenazahnya dibawa dan dimakamkan di Kemiri sebagai penghormatan. (WJ/AM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :