Disharmonisasi Keluarga Miliki Andil Picu Kekerasan Pada Anak

oleh -975 kali dibaca

2Semarang – Kasus kekerasan terhadap anak di berbagai daerah di Jateng, baik kekerasan fisik, seksual, maupun psikis kian marak dan memrihatinkan. Ironisnya, para korban maupun pelaku yang masih berusia anak-anak tidak mengetahui dan memahami jika yang dialami atau lakukan adalah tindak kekerasan karena mereka menganggapnya semacam permainan.

“Mereka terpengaruh tontonan pornografi yang dengan mudah diakses dari media maupun lingkungan, kemudian memraktikannya dengan teman. Namun mereka tidak tahu dan belum memahami bahwa itu adalah kekerasan seksual karena mereka menyebutnya itu mainan,” ujar Ketua LSM Setara Tsaniatus Sholihah saat dialog interaktif program “Gayeng Bareng Gubernur” di Studio TVRI Jawa Tengah, Senin (5/12).

Selain Ketua LSM Setara, dialog bertema “Lindungi Anak dari Kekerasan” dengan host Gubernur Jateng H Ganjar Pranowo SH MIP, juga menghadirkan sejumlah narasumber. Yakni Kepala Dinas Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah Sri Kusuma Astuti MSi, Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata Kuriake Kharismawan, serta anggota Komisi E DPRD Jateng Muh Zen Adv.

Tsaniatus mengungkapkan data kasus kekerasan terhadap anak, terutama di Kota Semarang, semakin meningkat khususnya kasus kekerasan seksual terhadap anak usia sekolah dasar. LSM yang konsen pada anak tersebut menemukan dari 90 kasus kekerasan yang terjadi di tiga kelurahan di Kota Semarang, sebanyak 34 diantaranya kekerasan seksual dengan korban laki-laki 12 anak dan perempuan 22 anak.

“Pelaku sebagian besar usianya masih anak-anak. Bahkan ada anak kelas tiga SD sudah mengenal seksualitas. Faktor teknologi baik internet, media sosial, maupun televisi merupakan gerbang utama mereka meniru adegan seksual. Selain itu, kondisi ekonomi juga sangat berpengaruh. Terkadang keterbatasan ruang tidur tempat tinggal menyebabkan anak dengan mudah melihat aktivitas seksual yang dilakukan orangtua mereka,” terangnya.

Salah seorang warga Semarang, Wulan melalui telepon mengutarakan kekhawatiran dan ketakutannya sebagai seorang ibu atas beragam tindak kejahatan yang dialami dan dilakukan oleh anak-anak. Meski senantiasa melakukan pendampingan terhadap sang buah hati saat menonton program televisi, mengawasi perilaku, serta mengamati berbagai aktivitas dan tumbuh kembangnya, namun kemajuan teknologi informatika membuat ibu satu anak ini selalu khawatir terjadi hal-hal yang tidak dinginkan menimpa anaknya.

“Saya pengguna medsos yang aktif. Dari situ timbul kekhawatiran seorang ibu dan saya ingin mendekap terus anak saya supaya tidak keluar rumah. Kalau dulu korban kejahatan seksual hanya perempuan tetapi sekarang anak laki-laki juga menjadi sasaran kejahatan,” keluhnya.

Mendengar beragam cerita menyayat tentang kekerasan yang menimpa anak-anak di Jateng, Gubernur Ganjar Pranowo prihatin. Anak-anak usia sekolah dasar dengan sadar tetapi tidak paham, bahkan mungkin melakukan tindakan yang tidak semestinya dilakukan di usia mereka dengan riang gembira. Padahal itu merupakan tindakan yang salah.

“Cerita-cerita menyayat itu, menyiratkan kepada kita bagaimana kita mendekap anak kita dalam arti lebih luas. Tidak hanya di rumah namun di mana pun terus diawasi dan dilindungi. Anak bukan komoditas orangtua dan anak tidak bisa didiskriminasikan laki-laki atau perempuan. Maka anak juga tidak boleh dijadikan beban orangtua. Karena anak perlu kita sayangi dan tidak ada lagi kekerasan terhadap anak mulai hari ini, mulai hari ini,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua BP3AKB Jateng Sri Kusuma menjelaskan, untuk meredam maraknya tindak kekerasan terhadap anak, pihaknya menjalin jejaring dengan organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya melalui berbagai program. Diantaranya program kabupaten dan kota layak anak, serta mengembangkan kelompok perlindungan perempuan dan anak berbasis masyarakat.
“Kota layak anak kami laksanakan sampai di tingkat desa, bahkan di Kota Magelang sudah sampai tingkat RW. Kabupaten dan kota layak anak meliputi 31 indikator antara lain hak anak mendapat layanan kesehatan, pendidikan, bermain, berekreasi, serta tempat-tempat umum seperti puskesmas dan tempat rekreasi yang ramah terhadap anak,” bebernya.

Sri Kusuma menyebutkan, kasus kekerasan terhadap anak yang masuk ke pusat layanan terpadu yang tersebar di 35 kabupaten/ kota se-Jateng, sejak dua tahun terakhir mengalami penurunan. Namun data tersebut bukan berarti menyatakan adanya penurunan di lapangan, karena masih mungkin ada kasus-kasus yang tidak terlapor atau masuk ke pusat layanan terpadu.

“Perlu menggencarkan sosialisasi agar warga segera melapor apabila mengetahui adanya tindak kekerasan terhadap anak, baik melalui sms ke gubernur, BP3AKB, atau datang langsunng,” imbuhnya.

Senada dikatakan anggota Komisi E DPRD Jateng M Zen. Penyebab utama kekerasan pada anak, menurutnya, adalah faktor ekonomi atau kemiskinan. Salah satu contoh adalah kekerasan fisik yang terjadi di Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan belum lama ini. Seorang ibu tega menyembelih anaknya yang berusia lima tahun akibat tekanan ekonomi.

“Kemiskinan menjadi faktor yang berpengaruh signifikan bahkan mencapai 71 persen. Maka ini harus kita evaluasi bersama untuk mengambil kebijakan selanjutnya agar kasus kekerasan anak tidak lagi semakin parah,” ungkap Zen.

Selain faktor ekonomi, kata dia, faktor disharmonisasi keluarga dan lingkungan juga mempunyai andil. Faktor perceraian orangtua atau keluarga tidak harmonis dapat menyebabkan anak melakukan tindak kekerasan. Sehingga dalam hal ini, aspek spiritualitas mempunyai peran penting untuk menghindarkan anak-anak menjadi korban atau pelaku tindak kekerasan. (HJT)

KOMENTAR SEDULUR ISK :