Mitos Larangan Berjualan Lentog di Desa Colo

oleh -1,768 kali dibaca
Lentog
Foto: Lentog makanan khas Kudus yang sangat menggugah selera. (Nila Niswatul Chusna/ISKNEWS.COM).

Kudus, ISKNEWS.COM – Lentog merupakan sebuah makanan legendaris asal Kota Kudus, yang terdiri dari irisan lontong yang berpadu dengan gurihnya sayur gori dan lodeh tahu. Kelezatan makanan ini, banyak dipilih masyarakat Kudus sebagai alternatif sarapan pagi yang mengugah selera. Cita rasanya yang gurih, menjadikan lentog digandrungi oleh semua kalangan, baik anak-anak maupun lansia.

Meskipun makanan ini begitu populer dan penjualannya telah menyebar ke setiap sudut Kota Kudus. Ternyata di Kudus terdapat sebuah mitologi larangan untuk berjualan lentog di sebuah daerah. Di manakah daerah tersebut? Daerah tersebut adalah Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Lalu mengapa dilarang berjualan lentog di daerah tersebut?

Sebuah mitos menyebutkan, bahwa dahulu Sunan Muria tidak menyukai makanan lentog. Dari situlah, berjualan lentog di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus menjadi sesuatu yang dianggap tabu. Hal ini terbukti dari tidak ditemukannya penjual lentog di setiap sudut kawasan wisata Gunung Muria.

Berdasarkan kisah salah seorang warga Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Teguh (43) yang media ini temui pada Sabtu (31-01-2018). Dalam perbincangan ringan itu, ia membenarkan jika di Desa Colo terdapat sebuah larangan berjualan lentog, hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Sunan Muria yang konon tidak menyukai makanan tersebut.

Hal tersebut telah berjalan turun-temurun dan begitu melekat bagi masyarakat Desa Colo. Akan tetapi masih ada beberapa masyarakat setempat maupun orang lokal Kudus yang nekat berjualan lentog di desa ini.

“Dahulu pernah ada beberapa masyarakat setempat dan orang lokal Kudus yang nekat berjualan lentog di sini. Namun tak bertahan lama hanya beberapa bulan saja, padahal lapaknya begitu ramai pembeli dan daganganya laku keras,” ungkap Teguh.

Setelah diselidiki, ternyata alasan beberapa penjual lentog tersebut memutuskan untuk gulung tikar, lantaran terus menerus merugi. Jika dalam ilmu ekonomi menyebutkan, bahwa keuntungan adalah pendapatan kotor dikurangi dengan biaya produksi. Sehingga idealnya pendapatan kotor harus lebih besar dari biaya produksi. Hal tersebut berbeda dengan yang dialami oleh penjual lentog di kawasan Gunung Muria.

“Misalnya biaya produksi yang dikeluarkan untuk berjualan lentog sebesar Rp 200 ribu. Setelah semua lentog tersebut laku terjual, jumlah uang yang terkumpul selalu di bawah biaya produksi, misalnya Rp 150 ribu. Jika dilogika, hal tersebut tidak mungkin terjadi, namun begitulah kenyataanya,” tuturnya.

Karena terus merugi, menjadikan penjual lentog tersebut memutuskan untuk gulung tikar, dan kejadian semacam ini tidak hanya dialami oleh satu atau dua orang saja, tetapi semua penjual lentog di Desa Colo merasakan hal yang serupa.

“Kalau ada masyarakat Colo yang mau memasak lentog untuk dikonsumsi sendiri atau membeli lentog dari daerah lain itu tidak masalah, yang dilarang itu jika ada yang berjualan lentog di sini. Kami selaku masyarakat Colo hanya bisa mengingatkan bukan yang melakukan larangan secara keras,” sebutnya. (NNC/AM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :

No More Posts Available.

No more pages to load.