Kudus, ISKNEWS.COM – Wadah Gerakan Santri Indonesia (WG Sanindo) bersama Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus mengadakan forum “Plan Of Action Santri Indonesia”, di aula pondok pesantren Almawaddah Honggosoco, Ahad (29/10/17).
Hadir dalam acara tersebut, KH. Sofiyan Hadi dari Mawaddah Center, H. Nur Said PSG STAIN Kudus, Siti Khodijah Pengasuh Pesantren Almawaddah, Santri ponpes Almawaddah dan tamu undangan.
Kegiatan ini digelar dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional (HSN) dan hari Sumpah Pemuda, Dimana setelah HSN dengan jargonnya “Santri Mandiri, NKRI Hebat”, telah diperingati semarak dan meriah. “Forum ini diharapkan memberikan solusi bagaimana wujud gerakan santri sebagai pemuda yang harus segera dilakukan di masa mendatang sesuai tema forum maupun jargon HSN tahun ini,” kata H. Nur Said dari PSG STAIN Kudus, sang penggagas acara sekaligus sebagai moderator pada acara tersebut.
Kemandirian santri bisa diwujudkanan dengan cara berdagang, hal itu telah dicontohkan Nabi Muhammad sebagai suri tauladan kita, “Dalam berbisnis atau dagang, saat ini era-nya adalah kolaborasi bukan kompetisi,” pesannya. Dimana dalam ber-enterpreneur yang terpenting saat membangun sebuah brand tidak hanya asal menciptakannya saja. Brand yang harus diciptakan pada era sekarang ini adalah yang mampu memberikan solusi atau memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Sa’id menegaskan akan pentingnya kolaborasi sebuah brand.
Menurutnya dalam membangun sebuah brand harus mempunyai tujuan yang jelas, karena sama saja dengan membangun persaudaraan. Brand yang keren adalah yang tercipta dari sebuah masalah yang ada di sekitar. “Karena membangun brand dalam sebuah bisnis adalah masa depan, bukan masa lalu. Yang dilakukan Filosofi Kopi sejak awal berdiri adalah, membangun kolaborasi dengan petani kopi di Indonesia.” Cerita Said.
Sementara itu, Siti Khodijah Pengasuh Pesantren Almawaddah menjelaskan, Rasulullah adalah seorang yang entrepreneur sejati, terbukti kemandirian itu muncul dari sejak kecil dengan ia menggembala kambing, dimana kala itu telah menjadi yatim piatu.
Sementara itu, H. Fajar Nugroho dari PCNU Kudus menceritakan, Pada tempo dulu kyai adalah tempat bertanya dan curhat, sebut saja jika mau panen atau mau mengerjakan sesuatu yang masih kurang jelas, maka tanya nya ke kyai atau ulama’. Namun, seiring bergesernya zaman hal itu saat ini telah berangsur-angsur berkurang prakteknya, dan jarang dilakukan. Sebab di zaman modern saat ini, era nya telah jauh berbeda dari tempo dulu. ” Santri harus berusaha untuk mempunyai sifat ikhlas, mandiri, ulet dan tirakat,” pesannya. (AJ)