Pengusaha Gula Tumbu Tetap Bertahan Ditengah Serangan Kencur

oleh -1,465 kali dibaca
Foto: Industri gula aren di Desa Cranggang, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Kamis (05-04-2018). (Nila Niswatul Chusna/ISKNEWS.COM)

Kudus, ISKNEWS.COM – Desa Cranggang yang terletak di Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, dahulu dikenal sebagai centra gula tumbu. Tanaman tebu dahulu tumbuh subur merajai lahan pertanian penduduk Cranggang.

Pergantian zaman, berbagai tanaman seperti kencur, laos dan ketela mulai bermunculan di Desa ini. Masa tanam yang relatif pendek dengan harga jual yang cukup tinggi, menjadikan beberapa petani mulai berpindah haluan ke tanaman tersebut.

Saat ini, sebagian lahan di Desa Cranggang dipadati oleh tanaman kencur. Serangan kencur ini perlahan mulai menggeser eksistensi tanaman tebu dan mengancam keberlangsungan industri gula aren.

Menurut staf pemerintahan setempat, Yunus, bahwa 10 tahun terakhir Desa tersebut telah mengalami pergeseran di sektor pertanian. Dari dahulu yang masyarakatnya menggantungkan kehidupannya dari tanaman tebu. Kini sebagian telah beranjak meninggalkan tanaman satu ini dan memilih menanam kencur.

Meskipun demikian masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari tanaman tebu. Nasib petani tebu, pengusaha dan para buruh industri gula aren bergantung pada tanaman satu ini.

Diakui Yunus, jika kini jumlah lahan tebu di Desa Crangang telah banyak berkurang. Meskipun demikian, pengusaha gula aren di Desa masih terus bertahan. Saat ini di Desa tersebut memiliki 40 gudang industri gula tumbu yang masih aktif produksi.

Hal senada diungkapkan oleh Iman Dzuhri, Kamis (05-04-2018), jika pergeseran di sektor pertanian tersebut cukup membawa pengaruh pada industri gula tumbu. Berkurangnya jumlah petani tebu, menjadikan pengusaha gula tumbu harus memutar otak untuk mendapatkan pasokan bahan baku.

Foto: Industri gula tumbu di Desa Cranggang, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Kamis (05-04-2018). (Nila Niswatul Chusna/ISKNEWS.COM)

Diungkapkan Dzuhri, kini sebagian tebu yang menjadi bahan baku gula tumbu, didatangkan langsung dari beberapa daerah di Kota Kudus. “Untuk tebu, kami tidak hanya mengandalkan hasil pertanian dari masyarakat lokal. Menurunnya jumlah pasokan tebu dari masyarakat lokal, membuat kami harus putar otak mencari tebu ke berbagai daerah,” ungkap Dzuhri.

Hal ini tentu berimbas pada naiknya cost yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk biaya transportasi. Secara keseluruhan biaya produksi akan mengalami kenaikan. Dengan harga gula tumbu yang relatif sama, tentu pengusaha akan mengalami penurunan laba.

“Dari segi laba memang terjadi penurunan karena cost produksi yang meningkat. Namun, hal saya tetap mensyukuri sampai saat ini permintaan gula tumbu di pasaran masih stabil,” ucapnya.

Namun hal tersebut tidak serta menghentikan perjuangan para pengusaha gula tumbu. Dengan semangat dan kerja keras, mereka berusaha membuktikan bahwa bisnis tersebut tetap menjanjikan.

“Meskipun keuntungannya sedikit, kalau permintaan pasarnya banyak nanti kalkulasi hasilnya juga akan banyak.” pungkasnya sambil tertawa.

Dzuhri menyadari benar bahwa sektor pertanian itu sifatnya musiman, jika musim kencur maka akan banyak petani yang menanam kencur. Jika nanti harga kencur turun maka petani tersebut akan berpindah haluan menanam tanaman lain.

Hal tersebut membuatnya optimis, jika kedepannya tanaman tebu akan kembali ke era kejayaannya. Sehingga dirinya dan para pengusaha gula tumbu tidak perlu mencari tebu ke berbagai daerah. (NNC/RM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :