Tradisi Kupatan yang Tidak Lekang Waktu

oleh -1,237 kali dibaca
Tradisi Kupatan yang Tidak Lekang Waktu
Foto: Ayaman ketupat yang belum dimasak, kupat-kupat ini nantinya akan digunakan dalam tradisi kupatan. (Istimewa/ISKNEWS.COM)

Kudus, ISKNEWS.COM – Bagi sebagian masyarakat pantura, khususnya warga Kudus hari ke delapan bulan syawal diperingati sebagai ‘Bodo Kupat’ atau kupatan. Tradisi yang telah ada dari ratusan tahun yang lalu ini, masih terjaga dan lestari hingga saat ini.

Dalam peringatan Bodo Kupat, masyarakat biasanya membuat ketupat yang disajikan dengan opor ayam dan sambal goreng. Tak hanya kupat, dalam tradisi ini juga disajikan lepet.

Makanan yang terbuat dari beras ketan dan parutan kelapa yang ditanak ini menjadi hidangan khas saat perayaan bodo kupat. Untuk pembuatan ketupat dan lepet ini biasanya dilakukan pada H+6 lebaran dan pada H+7 masyarakat akan menyantap lezatnya ketupat bersama keluarga tercinta.

Tradisi ini sebenarnya bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat, atas keberhasilan melaksanakan puasa sunnah selama enam hari, dari tanggal 2 – 7 Syawal. Berjalannya waktu, tradisi ini kini dapat dinikmati oleh semua orang. Tidak hanya orang yang berhasil menjalankan puasa sunnah saja.

Konon tradisi Bodo Kupat ini merupakan warisan budaya dari Sunan Kalijaga. Bagi masyarakat pantura, Bodo Kupat bukan sekedar perayaan saja. Lebih dari itu, Bodo Kupat mengajarkan filosofi hidup yang mendalam.

Ketupat atau yang sering disebut kupat oleh orang Kudus, merupakan kependekan dari ‘Ngaku Lepat dan Laku Papat’. Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan. Sedangkan laku papat berarti empat tindakan yakni lebaran, luberan, leburan dan laburan.

Lebaran bermakna usai atau berakhirnya waktu puasa. Lebaran berasal dari kata lebar yang berarti pintu ampunan yang terbuka lebar. Kemudian, luberan bermakna melimpah, yang menjadi simbol ajaran bersedekah kepada kaum duafa. Luberan ini diwujudkan dalam bentuk zakat fitrah.

Selanjutnya, leburan bermakna habis dan melebur, yang dimaksudkan momen lebaran merupakan saat yang tepat, untuk menghabiskan atau meleburkan dosa-dosa dengan sesama manusia dengan saling memaafkan.

Terakhir, laburan berasal dari kata labur atau kapur. Zat ini digunakan sebagai pemutih air ataupun dinding. Maksudnya, setelah melebur dosa dengan saling bermaaf-maafan, manusia diharapkan dapat menjaga kesucian lahir dan batin dengan sesamanya.

Di Kabupaten Kudus sendiri, perayaan bodo kupat digelar di seluruh kecamatan. Namun, ada beberapa daerah di Kudus yang memiliki tradisi bodo kupat yang terbilang unik dan sangat meriah.

Seperti perayaan sewu kupat di Desa Colo, Kecamatan Dawe Kudus, Tradisi bulusan yang berada di Dukuh Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo dan Tradisi Kupatan di Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo Kudus.

Hingga kini, tradisi ini tetap lestari di tengah-tengah masyarakat. Tak dipungkiri, keunikan dan kekhasan tradisi ini menjadi sebuah daya tarik tersendiri, bagi masyarakat. Selayaknua tradisi luhur seperti ini dapat terjaga dan terus hidup dan melekat di masyarakat.(NNC/WH).

KOMENTAR SEDULUR ISK :

No More Posts Available.

No more pages to load.