Anyaman Pandan Tergo di Dawe Kudus : Menjaga Tradisi, Menembus Pasar Dunia

oleh -1,411 kali dibaca
Aris Sutopo dan para perempuan perajin anyaman pandan dari komunitas Cak Peter di Desa Tergo, Dawe, Kudus (Foto: YM)

Kudus, isknews.com – Jika berkunjung ke Kabupaten Kudus, jangan lupa membawa pulang buah tangan khas dari Desa Tergo, Kecamatan Dawe. Di balik hawa sejuk lereng Muria itu, tersimpan tradisi kerajinan tangan yang telah diwariskan lintas generasi: anyaman pandan. Produk ini tak hanya menjadi identitas budaya lokal, tapi juga telah menapaki pasar global.

Desa Tergo bukan sekadar desa biasa. Setiap sudutnya seolah menyimpan cerita panjang tentang perjuangan dan keterampilan tangan para perajinnya. Hampir tiap rumah di desa ini punya keahlian membuat anyaman pandan. Tak heran, jika Tergo dikenal sebagai satu-satunya sentra anyaman pandan di wilayah Kabupaten Kudus.

Dari berbagai pelaku usaha lokal, nama Kelompok Usaha Cak Peter mencuat sebagai produsen unggulan. Dikomandoi oleh Aris Sutopo, kelompok ini tak hanya memperkenalkan produk anyaman pandan sebagai oleh-oleh, tetapi juga sebagai simbol ketekunan yang bisa menjangkau dunia.

“Tahun lalu kami ekspor ke Belanda, kerja sama dengan perusahaan mebel di sana. Permintaan waktu itu sampai 400 lembar tikar ukuran 1,2 meter kali 5 meter,” kata Aris, sembari menunjukkan beberapa produk yang siap kirim.

Selain Belanda, produk Cak Peter juga telah menjangkau Jerman dan Palestina. Prestasi ini tentu bukan datang begitu saja. Di balik setiap lembar tikar atau tas anyaman, ada ketelatenan dan semangat menjaga kualitas secara konsisten.

Kualitas menjadi kunci utama. Anyaman pandan Tergo dikenal lebih halus, lentur, dan kencang dibanding produk serupa dari daerah lain. Semua itu, menurut Aris, tak lepas dari proses produksi yang masih tradisional dan penuh kehati-hatian.

“Daunnya kami ambil sendiri dari sini, kemudian dijemur, direbus, dibersihkan, lalu dianyam manual. Satu lembar saja bisa butuh waktu sampai lima hari,” jelas Aris.

Bentuk dan fungsinya pun kini semakin beragam. Tak hanya berupa tikar, warga Tergo juga membuat tas, topi, sandal, peci, bahkan kotak tisu berbahan dasar pandan. Harganya bervariasi, mulai Rp 35 ribu hingga Rp 400 ribu, tergantung tingkat kerumitan dan ukuran.

Dalam prosesnya, kelompok usaha ini juga memberdayakan para ibu rumah tangga di desa. Para perempuan di Tergo tak hanya sibuk di dapur, tapi juga produktif menganyam untuk menambah penghasilan keluarga.

Lebih menarik lagi, wisatawan yang datang ke Desa Tergo bisa melihat langsung proses pembuatan anyaman. Bahkan, ada edukasi singkat yang memungkinkan pengunjung mencoba menganyam sendiri.

“Kalau wisatawan ingin cari yang asli dan langsung dari pengrajinnya, bisa datang ke sini. Tapi juga bisa beli online di Shopee atau Facebook di toko Cak Peter,” tambah Aris dengan senyum bangga.

Produk lokal ini tak hanya membawa manfaat ekonomi, tapi juga memperkuat jati diri masyarakat. Di tengah gempuran produk modern, anyaman pandan Tergo tetap lestari karena dijaga dengan hati.

Keberadaan anyaman pandan Tergo menjadi contoh nyata bahwa desa kecil pun bisa mendunia jika menjaga warisan budaya dan kualitas produknya. Tak sekadar anyaman, tiap helai daun pandan yang dijalin adalah jalinan cerita, perjuangan, dan doa.

Di tangan para perajin Tergo, pandan bukan sekadar tumbuhan liar. Ia menjadi simbol ketekunan, ketelitian, dan kreativitas yang tak lekang waktu.

Dan lewat tangan-tangan mereka, anyaman pandan khas Kudus pun dikenal sampai ke mancanegara, Eropa hingga Timur Tengah. (YM/YM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :

No More Posts Available.

No more pages to load.