Bermula dari Kejuaraan Tongtek, Suparlan Lestarikan Alat Musik Angklung

oleh -1,464 kali dibaca

Kudus, isknews.com – Bermula dari keikutsertaan Suparlan (69 tahun), warga Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kudus dalam perlombaan tongtek, kini dia merambah dan mulai melestarikan alat musik angklung.

Suparlan menceritakan, pada masa 1980-1990 an, di Kudus sering ada kegiatan lomba keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di bidang keamanan ronda malam. Salah satu lomba yang diusung adalah tongtek.

Dari perlombaan itu, tongtek Gebog juga sering menjuarai event Kamtibmas. Bahkan, kejuaran tersebut bisa sampai tingkat kabupaten, karesidenan Pati, hingga provinsi.

“Kesenian musik yang ditampilkan saat itu tidak hanya tongtek saja, tapi ditambah juga dengan suara kentongan, gambang, bass, dab angklung,” katanya.

Disaat tongtek Gebog banyak dikenal oleh masyarakat Kudus, Suparlan pun kemudian mulai kebanjiran pesanan alat musik tongtek. Sekitar tahun 2000 an, dia siap menerima pesanan seharga Rp 350 ribu untuk satu set tongtek. Pembuatannya sendiri membutuhkan waktu sekitar 20 hari.

“Tapi sekarang sudah jarang yang pesan tongtek,” tuturnya.

Sembari itu, dia juga belajar untuk membuat alat musik lain seperti angklung. Dia belajar bersama guru SMPN 1 Gebog, yang mana, tiap sore hari rutin belajar hingga mahir membuat angklung seperti sekarang ini. Kata Suparlan, membutuhkan waktu dua untuk belajar angklung.

“Lama-lama banyak yang pesan angklung, kebanyakan itu dari sekolah karena digunakan untuk ekstrakurikuler,” tambahnya.

Menurut Suparlan, pembuatan angklung cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari pemilahan bambu yang usianya minimal tiga tahun, dan harus dipotong dalam keadaan masih hijau.

Disamping itu, proses pengeringan bambu juga tidak boleh terkena matahari secara langsung. Baru setelah itu, dirakit dan masih membutuhkan waktu untuk mengepaskan nada dengan alat musik orhen gitar dan pianika.

“Prosesnya sampai rampung bisa memakan waktu sampai 6 bulan,” ujarnya.

Satu set angklung, lanjut Suparlan, dipatok seharga Rp 5 juta untuk ukuran besar, set sedang Rp 3,5 juta, dan set kecil Rp 2 juta. Sementara penjualannya sudah menyasar hingga Demak, Jepara, Pati, dan Rembang.

Suparlan juga mengaku, saat ini dia sedikit mengalami kesulitan untuk mencari ketersediaan bambu yang sesuai dengan kriteria. Meski begitu, tidak membuatnya putus asa. Dia masih bisa menemukannya di Desa Piji, Kecamatan Dawe.

“Meskipun hanya terbatas hanya sekitar 10-15 batang bambu yang diambil. Padahal aslinya paling tidak untuk membuat satu set besar itu butuh 70 batang bambu,” ungkapnya. (MY/YM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :