Dinas ESDM Jateng : Sebanyak 2024 Desa Di Jateng Rawan Bencana Longsor

oleh -1,112 kali dibaca

Semarang – Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah menyatakan sebanyak 2.024 desa dari 7.809 desa di Jawa Tengah rawan bencana longsor. Angka itu diperoleh dari hasil evaluasi ESDM yang dilakukan pada kurun waktu tahun 2002 sampai 2010.

“Hasil evaluasi yang kami lakukan sejak 2002 sampai 2010, jumlah desa rawan bencana pada posisi 2.024 desa. Ini evaluasi hingga 2010. Kami belum mengevaluasi pada posisi 2016, karena evaluasi dilakukan antara lima sampai tujuh tahun dimana biasanya pada kurun waktu itu terjadi perubahan signifikan pada morfologi batuan. Tebing-tebing yang punya kemiringan curam terganggu kestabilannya,” jelas Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah Ir Teguh Dwi Paryono MT dalam Rapat Evaluasi Penanggulangan Bencana kepada Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP, Rabu (13/7) di ruang rapat Kantor Gubernur.

Teguh membeberkan, perubahan tata guna lahan yang dilakukan penduduk di daerah rawan longsor (terutama yang dalam jangka waktu lama tidak terjadi longsor) juga semakin intensif. Kondisi tersebut membuat potensi longsor semakin besar. Pihaknya mencatat, sejak April sudah ada 20 kejadian longsor, Mei 15 kejadian dan Juni 18 kejadian.

“Sebetulnya daerah-daerah yang kemarin terjadi bencana sudah pernah terjadi bencana longsor. Ini sudah kita prediksi. Masalahnya adalah tahun-tahun yang sebelumnya tidak terjadi bencana. Ini yang kemudian menyebabkan masyarakat terlena dengan kejadian-kejadian yang sudah pernah terjadi,” tuturnya.

Lokasi-lokasi yang belum lama ini terjadi bencana longsor, imbuhnya, sebetulnya sudah tidak layak lagi digunakan hunian. Sebab, saat terjadi curah hujan tinggi dan muncul retakan, pasti akan longsor. Apalagi lokasi penduduk dekat sekali dengan tebing yang kemiringannya sangat tinggi. Pihaknya sebenarnya sudah melakukan pemetaan untuk relokasi dan sudah disampaikan ke kepala daerah terkait. Namun, masalahnya terkendala pada lahan yang akan dibebaskan, status lahan dan masyarakatnya sendiri berat meninggalkan lokasi tempat tinggalnya selama ini.

“Dinas ESDM sudah semaksimal mungkin menanggulangi bencana. Antara lain dengan melakukan pelatihan bersama BPBD kabupaten/ kota rutin setiap tahun menyangkut tanda-tanda terjadi bencana dan apa yang harus dilakukan. Tetapi yang paling utama kami sangat mendukung untuk membentuk desa tangguh bencana,” kata Teguh.

Ditambahkan, jumlah alat early warning system (EWS) yang saat ini terpasang juga masih sangat kurang. Hingga 2015, ESDM baru memasang 38 alat dan BPBD 14 alat. Keberadaan EWS sangat dibutuhkan, karena cakupan bencana semakin luas.

Gubernur Ganjar Pranowo menilai, catatan 2.024 desa rawan longsor yang diberikan Dinas ESDM sangat membantu pihaknya dalam melakukan penanggulangan bencana longsor. Namun, dia meminta agar kembali dilakukan evaluasi, mengingat sebentar lagi sudah memasuki periode evaluasi.

“Sambil menunggu evaluasi berikutnya, catatan 2.024 desa ini kita garap saja. Tempatnya dimana, kadesnya siapa, kita siapkan. Kalau perlu nanti kita minta data detilnya agar penanganannya komprehensif. Kades sama bupatinya kita gerakkan (membuat desa tangguh bencana). Kalau nggak, provinsi yang inisiatif. Kalau nggak, risikonya masyarakat akan kena lebih banyak,” katanya.

Dinas ESDM juga diminta untuk memberikan grading untuk mengetahui dengan jelas mana-mana wilayah yang paling rawan bencana longsor. Sehingga, intervensi di daerah paling rawan tersebut bisa diberikan dengan tepat.

“Pikiran saya, minimal kita kasih tanda-tanda bencana, kita latih mereka paling tidak dua kali setahun oleh tim Pengurangan Risiko Bencana (PRB), jalur evakuasi kita siapkan, EWS kita pasang, dan membuat masyarakat jadi peka terhadap kondisi. Terakhir doa nya agak rutin. Ini penting. Doa itu di luar ilmu pengetahuan manusia,” ucapnya.

Korban bencana beberapa waktu lalu, imbuhnya, bisa dilatih untuk menjadi agen tanggap bencana. Harapannya dia bisa memberikan testimoni. Tokoh agama dan tokoh masyarakat pun perlu untuk terus menyampaikan bahwa mereka hidup di daerah bencana.

“Nanti tokoh agama dan tokoh masyarakat diminta bicara bencana terus menerus. Satu ayat tentang bencana kudu diomongke. Itu untuk mengingatkan terus menerus dan latihan, baik fisik maupun manajemen. Jadi ketika bencana terjadi, incident commander di level desa itu siapa yang bisa dipercaya. Harus ada tokoh yang peduli bencana,” paparnya.

Mengenai alat EWS, Ganjar berupaya bisa memasang di 2.024 desa rawan longsor. Baik dengan meminta bantuan BNPB, pemerintah kabupaten/ kota, atau mencari funding.

“Minimal di 2.024 desa terpasang semua. Satu desa alatnya bisa banyak itu karena titik-titiknya, coveragenya kecil-kecil. Ini yang coba kita dorong,” tutupnya. (HJ)

KOMENTAR SEDULUR ISK :