Kudus, isknews.com – Sarasehan Kretek 2024 yang diselenggarakan oleh Teater Djarum berlangsung meriah dengan diskusi yang dinamis dan penuh antusiasme.
Bertempat di Wisma Ploso, Kudus, Sabtu (5/10/2024), acara bertema “Menelusuri Kretek, Menatap Masa Depan” ini menghadirkan sejumlah tokoh penting, seperti sejarawan Edy Supratno, Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek Moddie Alvianto Wicaksono, serta budayawan Butet Kartaredjasa dan Mohamad Sobary.
Melalui berbagai perspektif, para narasumber membahas sejarah panjang kretek, pentingnya pengakuan budaya, hingga upaya masa depan untuk menjadikan kretek sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Sarasehan Kretek ini dimulai dengan bincang-bincang bersama Rohayat, cucu dari penemu kretek, Haji Djamhari. Rohayat menceritakan bahwa kakeknya memiliki 12 anak dan 71 cucu, dan dirinya mengetahui sejarah keluarga dari penuturan orang tua serta paman dan bibinya.
Kehadiran Rohayat di acara ini memberikan momen berharga, di mana ia berharap kretek yang ditemukan oleh kakeknya dapat diakui sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) oleh negara.
Pembukaan acara dilakukan oleh moderator, Prayitno. Diskusi ini membahas berbagai isu seputar kretek, termasuk pengaruhnya dalam sejarah dan pentingnya pengakuan formal sebagai warisan budaya oleh pemerintah Indonesia
Salah satu pembicara, Moddie Alvianto Wicaksono, Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek, menekankan pentingnya kretek sebagai warisan budaya Indonesia dan menyayangkan bahwa usulan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) untuk kretek masih belum disetujui oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Dirinya juga menceritakan kisah menarik tentang Agus Salim yang merokok kretek di pertemuan internasional. Ketika Pangeran Philip bertanya tentang aroma khas dari asap rokok tersebut, Agus Salim menjawab bahwa itu adalah kretek, yang pada masa lalu menjadi alasan penjajahan.
Sementara itu, Ketua Panitia Sarasehan Kretek, Asa Djatmiko, mengungkapkan bahwa acara ini merupakan puncak dari perayaan kretek yang menghadirkan berbagai elemen penting, mulai dari pemerintah, pelaku industri kretek, hingga sejarawan dan budayawan, dalam satu forum diskusi.
Menurut Asa, antusiasme tinggi yang terlihat dari pembahasan yang semakin dinamis menjadi cerminan semangat untuk mencapai kesepakatan agar kretek diakui sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara.
Dalam momen sarasehan ini juga muncul gagasan untuk menetapkan Hari Kretek sebagai penghormatan terhadap sejarah kretek. Ada dua usulan tanggal yang dipertimbangkan, yakni 10 Juni, tanggal wafatnya Haji Djamhari, atau 16 Desember, tanggal ketika M Nitisemito menutup pabrik kreteknya di Jati dengan 12 ribu karyawan pada tahun 1936.
“Jadi keputusan terkait tanggal tersebut akan dikaji lebih lanjut untuk dipilih sebagai peringatan Hari Kretek,” ungkap Asa Djatmiko.
Asa Djatmiko juga menekankan bahwa upaya pelestarian kretek harus dilakukan melalui berbagai jalur, baik oleh pelaku industri maupun para aktivis di media sosial, untuk memperkuat posisi kretek dalam budaya Indonesia. (AS/YM)