Panggung Teater Dejavu SMK Taman Siswa Gelar Pementasan Tajuk Sopan Santun

oleh -36 Dilihat
oleh

Kudus, isknews.com – Panggung teater Dejavu SMK Taman Siswa Kudus digelar oleh pementasan yang menantang pemahaman konvensional tentang sopan santun. Pementasan adaptasi naskah “Argumentasi Sisi” karya Dicky Soemarno, yang digarap oleh Dian Puspita Sari, mengungkap bahwa etiket aristokratik bukan sekadar tata krama, melainkan sebuah “sistem kontrol fisik yang telah mengakar sejak masa kanak-kanak.”

Dian Puspita Sari menjelaskan bahwa fokus utama pementasan ini adalah membedah biaya psikologis yang dituntut oleh norma sosial kaku tersebut.

“Etiket hari ini, khususnya yang kami sajikan, adalah otokritik habitus tata krama biasa. Ia sudah tidak bertemu dengan zamannya. Ini adalah disiplin yang menuntut internalisasi fisik secara total,” ungkap Dian seusai pementasan.

Ia mencontohkan, tubuh para tokoh dilatih sejak dini menyerupai disiplin balet—kaku, terukur, dan terkontrol. Menurutnya, hal ini menjadikan tubuh sebagai instrumen kepatuhan, bukan sebuah pilihan moral yang sadar.

Konflik sejati dalam pementasan ini tidak terletak pada suatu yang parsial, melainkan pada bahasa tubuh. Puncak ketegangan muncul melalui mikro-gestur—bahu yang tiba-tiba menegang atau tangan yang mengepal. Gerakan kecil ini menjadi “retakan” yang memperlihatkan “psikologi gelap” yang tersembunyi, seperti ambisi dan ketakutan yang dilarang diungkapkan secara verbal.

“Realisasi menyakitkan bahwa tubuh mereka telah dipersenjatai melawan kebebasan pribadinya sendiri adalah tragedi terbesar. Kami berharap penonton melihat bagaimana masyarakat kerap terjebak dalam lingkaran setan tragedi, di mana kekuasaan tertinggi menuntut represi diri tertinggi,” tegas Dian.

Lebih dari sekadar kritik sosial, pementasan ini juga secara tegas menempatkan diri sebagai otokritik terhadap industri media kontemporer, khususnya sinetron dan konten digital yang dianggap terlalu menyederhanakan konflik.

Dian mengkritik pendekatan sinetron yang cenderung mengutamakan hiburan cepat, plot kilat, dan emosi yang mudah dicerna, seringkali membatasi representasi hanya pada pajangan kemewahan tanpa mengeksplorasi paradoks moral di baliknya.

“Sinetron menawarkan pelarian emosional. Sebaliknya, teater garapan ini menuntut pendekatan yang berbeda,” ujarnya.

Dengan menggunakan bingkai panggung proscenium yang kaku, Dian bertujuan menciptakan representasi cara memandang penonton menjadi analis kritis. “Kami memanfaatkan kekakuan bentuk ini untuk ‘menahan’ realitas agar dapat dianalisis secara kritis, alih-alih membiarkannya disederhanakan dan menjadi ‘pelarian’ emosional,” pungkasnya, menyuarakan untuk mengonsumsi drama dengan pemikiran yang pelan dan mendalam.

KOMENTAR SEDULUR ISK :
oleh