Kudus,isknews.com – Drama pengisian perangkat desa di Kabupaten Kudus, sepertinya belum akan segera berakhir. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Kudus diantaranya berbunyi “Mengabulkan eksepsi Tergugat dan Tergugat intervensi mengenai kompetensi relatif”, “Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara a quo” ternyata ditafsirkan berbeda-beda baik oleh Bupati Kudus Hartopo maupun bawahannya dalam hal ini Camat.
Menurut pengacara Garank 1, Sukis Jiwantomo, amar putusan hakim PN Kudus atas perkara nomor 26/Pdt.G/2023/PN.Kds sangat jelas dan bagi insan hukum tidak harus menjadi multi tafsir. Dari uraian yang menyebutkan PN Kudus tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara a quo, sudah sangat jelas artinya.
“Yang dimaksud perkara a quo adalah perkara yang sedang digelar atau ditangani di PN Kudus yakni perkara 26/Pdt.G/2023/PN.Kds atau gugatan Pansel terhadap Unpad,” jelas Sukis Jiwantomo kepada isknews.com.
Makan putusan tersebut, lanjutnya, itu artinya penggugat dalam hal ini Panitia Seleksi (Pansel) Desa salah alamat dimana seharusnya gugatan didaftarkan ke PN Sumedang dimana menjadi alamat tergugat yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Padjadjaran. Narasi yang dituangkan hakim dalam amar putusan tersebut, sudah sangat jelas dan terang benderang dan tidak multi tafsir.
“Kalau ada pejabat yang berkomentar bahwa putusan hakim PN Kudus mengalihkan persidangan ke PN Sumedang, hal itu jelas tafsir yang sesat dan menyesatkan. Harusnya, kalau pejabat tidak memahami makna putusan hakim, bisa berkonsultasi dengan biro hukum agar tidak salah menerjemahkan amar putusan majelis hakim,” imbuhnya.
Selain menyoroti timbulnya kegaduhan akibat salah tafsir oleh pejabat, masih kata Sukis, Bupati Kudus saat memerintahkan penundaan pelantikan dituangkan melalui surat keputusan (SK) bahkan sampai dua kali. Tetapi setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bupati harusnya menerbitkan SK Pembatalan atas SK Penundaan Pelantikan yang pernah ditandatanganinya atau minimal menerbitkan surat edaran (SE) sebagai pegangan kepala desa atau bawahan lainnya.
“Jangan memerintahkan hanya lewat lisan yang tidak bisa digunakan sebagai pegangan kepala desa untuk melantik perangkat yang sudah terpilih melalui tes dan berbagai tahapan lainnya,” imbuhnya.
Disinggung adanya aksi perangkat desa terpilih hasil tes Unpad yang sampai saat ini sebagian belum dilantik, Sukis Jiwantomo menegaskan bahwa aksi demo tersebut adalah pilihan terakhir setelah komunikasi antara Garank 1 dengan Pemkab Kudus menemui jalan buntu. Padahal sesuai perundangan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan perangkat desa adalah Kepala Desa dan bukan Bupati atau Camat atau pejabat pada Dinas PMD.
Pernyataan lisan dari Bupati Hartopo akhir-akhir ini bahwa untuk melantik perangkat desa adalah wewenang kepala desa, menurutnya sangat terlambat. Kalau bupati sudah memahami hal tersebut, mengapa mengeluarkan SK Penundaan pelantikan, artinya langkah penundaan itu sudah disadari bupati bahwa dia bertindak melampaui wewenang alias intervensi kewenangan Kades.
Menyikapi rangkaian peristiwa yang terjadi selama ini hingga pelantikan perangkat desa terkatung-katung, tidak tertutup kemungkinan pihak Garank 1 melaporkan hal tersebut ke institusi yang berwenang. Pasalnya, pihaknya selaku kuasa hukum Garank 1 sudah mengantongi bukti dugaan adanya aliran uang kepada oknum tertentu yang menjanjikan lolos menjadi perangkat desa yang diinginkan.
“Melihat kegaduhan dan masih adanya kepala desa yang tidak mau melantik perangkatnya, kita menduga hal itu ada yang menuntun dan dibekingi oknum kalau tanpa adanya beking para kepala desa tidak akan berani ‘membangkang’ aturan,” pungkasnya. (jos)