Selain Ramah Lingkungan, Ecoprint Hasilkan Warna Alami Kontemporer, Unik dan Eksklusif

oleh -1,645 kali dibaca
Dasa Gentawati (baju kuning) saat proses pounding(dipukul) sebelum proses steaming (dikukus). (Aris Sofiyanto/ISKNEWS.COM).

Kudus, isknews.com – Ada beragam teknik dan cara untuk membuat motif pada kain. Mulai dari membatik, menyulam, menenun, hingga membordir. Kini, ada pula teknik baru membuat motif pada kain yakni bernama ecoprint. Mulai menjadi tren belakangan ini, teknik tersebut terbilang unik dan mudah.

Sesuai namanya ecoprint dari kata eco asal kata ekosistem (alam) dan print yang artinya mencetak, ecoprint ini dibuat dengan cara mencetak dengan bahan-bahan yang terdapat di alam sekitar sebagai kain, pewarna, maupun pembuat pola motif.

Bahan yang digunakan berupa dedaunan, bunga, batang bahkan ranting. Tidak seperti batik tulis atau cap yang pada tahap tertentu menggunakan bahan kimia, ecoprint menggunakan unsur-unsur alami tanpa bahan sintetis atau kimia. Karena itulah batik ini sangat ramah lingkungan dan tidak menimbulkan pencemaran air, tanah atau udara.

Tren gaya hidup ramah lingkungan inilah yang mendasari Dasa Gentawati (44 tahun) menekuni dan mengembangkan Ecoprint. Ia adalah satu di antara perajin di Kudus yang menggeluti kain ecoprint. “Selama ini saya bergelut dibidang batik sudah lumayan lama, namun ini saya mencoba nuansa baru dengan berbahan baku sentuhan alam (natural),” kata Dasa saat ditemui isknews.com di rumahnya, Perumahan Muria Indah Kudus, Sabtu (23/1/2021).

Meski usaha ecoprint digelutinya baru beberapa bulan terakhir, dia sudah aktif merintis dan mendapat pesanan dari orang-orang terdekat dan sesekali dari teman dunia maya.

Selain itu, bagi masyarakat yang ingin belajar terkait ecoprint dan batik, genta mas batik juga membuka pelatihan dengan menghubungi nomor HP 085290394909.

Beberapa koleksi kain ecoprint Dasa Gentawati.

Ada beberapa teknik yang digunakan Dassa untuk menghasilkan motif ecoprint. Diantaranya yakni pounding (dipukul) dan steaming (dikukus). Untuk pounding, daun yang telah dikumpulkan lantas dipukul-dipukul di atas lembaran kain putih. Daun itu nantinya akan mengeluarkan warna alami. Lakukan pounding sampai warna yang tercetak di atas kain cukup jelas. Bahkan hingga tampak tulang-tulang daunnya.

Kain yang selesai dipukul-pukul lalu didiamkan beberapa malam. Tujuannya, lanjut Dasa, agar warna daun kering dan melekat pada kain. Setelah itu, kain dibilas, atau menurut Dassa istilahnya dinamakan fiksasi. Proses fiksasi tersebut yakni dengan cara membilas kain. Entah dengan air cuka, air tawas, air kapur, air tunjung. “Biasanya saya pakai air tawas atau tunjung. Kalau air tawas untuk warna agak terang. Air tunjung untuk warna agak gelap,” tutur perempuan pemilik Galeri Genta Mas Batik Kudus.

Sedangkan, teknik steaming (dikukus) merupakan proses lanjutan dari pounding. Jika proses pounding yakni dipukul kemudian didiamkan, maka steaming lantas mengukus kain di dalam dalam panci. Kain tersebut dilipat atau digulung dengan rapi. Dilakukan selama beberapa jam. Usai dikukus, kain lalu direndam air tawas ataupun tunjungan (fiksasi). Tujuannya yaitu agar warna daun tidak luntur saat dicuci.

Dasa mengaku, hasil yang diberikan dari proses ecoprint sangat menarik. Sebab, warna dan motif yang dihasilkan pada tiap-tiap kain berbeda. “Itu yang membuat kain ecoprint unik dan eksklusif,” katanya.

Selembar kain biasanya dijual dengan harga dari mulai Rp75 ribu hingga Rp1 jutaan. Tergantung dengan jenis kain yang digunakan. Baik berbahan katun premium ataupun sutera.

Dasa menambahkan, Tak hanya gamis, melalui kain ecoprint juga bisa membuat Rok. Korden, hingga alat salat (mukena) dan lainnya. “Berharap kelak kian banyak orang yang bisa mengenal produk ecoprint yang unik dan ramah lingkungan,” pungkasnya.. (AJ/YM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :