Kudus, isknews.com – Seni musik keroncong secara perlahan mulai terkikis di zaman milineal seperti sekarang ini. Padahal, salah satu warisan budaya tersebut seharusnya bisa menjadikan kekayaan yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Hal itu diungkapkan oleh salah seniman keroncong di Desa Mlati Lor, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudu, Sistoyo (59 tahun). Sebagai seorang seniman yang sangat aktif di masa mudanya, dia merasa prihatin lantaran mulai terkikisnya musik keroncong oleh generasi penerus.
Melihat kondisi tersebut, Sistoyo pun akhirnya berinsiatif untuk membuat alat musik keroncong sendiri di rumahnya. Selain untuk nguri-uri budaya keroncong, dia juga memfasilitasi orang-orang yang ingin mempunyai alat musik keroncong tetapi tidak memiliki budget yang banyak.
“Banyak yang pinjam, habis itu biasanya pada beli. Saya tidak mematok harga pasti kalau ada yang beli, ada budget berapa nanti saya buatkan,” kata Sistoyo saat ditemui di kediamannya, Kamis (20/01/2022).
Ada beberapa alat musik yang dibuatnya, diantaranya, gitar, bass, ukulele, cuk, cak, cello, biola. Sementara kebanyakan yang datang untuk membeli alat musik buatannya berasal dari kalangan anak-anak muda dan para pengamen.
“Kalau anak-anak kecil gitu biasanya saya suruh bayar Rp 50 ribu saja untuk ukulele dari triplek, kalau umum biasanya Rp 75 ribu. Tapi kalau dari kayu ya sampai Rp 200 ribuan,” lanjutnya.
Dia juga menerima pesanan alat musik dengan lukisan. Bahkan, dia sempat kebanjiran pesanan ukulele dengan lukisan animasi dan karton tertentu. Namun, karena waktu yang terbatas, dia tidak bisa secara maksimal menekuni kerajinan ini.
“Karena saya juga bekerja di salah satu pabrik garmen dibagian design, jadinya luangnya pas minggu. Pembuatan alat ini masih untuk menyalurkan hobi dan untuk uri-uri budaya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sistoyo pun menceritakan bahwa untuk bisa membuat alat musik keroncong, dulunya dia belajar di Sukoharjo, Jawa Tengah pada tahun 1996 silam.
Disana, alat pertama yang dia buat adalah gitar. Kemudian, merambah ke alat musik lainnya.
“Disana itu sehari bisa membuat 50 buah, saya hampir tiap minggu ke tempat itu untuk belajar membuat alatnya,” tuturnya.
Alasan dia ingin belajar adalah karena dia sudah suka seni sejak remaja. Sistoyo mengaku mulai menggeluti seni pada tahun 1976. Bahkan pada tahun 1979 dia sempat mengikuti kejuaraan puisi di Kudus dan berhasil mendapat juara Harapan 1.
Berlanjut pada tahun 1986, dia mulai ikut Teater Gema Budaya. Dan pada tahun 1991 hingga sekarang di fokus pada seni musik keroncong.
“Sempat vakum juga di dunia seni pada tahun 2009 sampai 2018, saat itu komitmen untuk membangun keluarga. Terus saat ini, mulai aktif lagi meskipun tidak seperti dulu,” tukasnya. (MY/YM)