Kudus, isknews.com – Pengolahan sampah plastik di Kudus semakin berkembang dan membuka peluang ekonomi bagi masyarakat.
Sunarto, anggota DPRD Kudus dari Fraksi PDIP yang juga mengelola salah satu pusat pengolahan sampah plastik di daerah tersebut, menjelaskan bahwa permintaan terhadap plastik daur ulang terus meningkat, terutama dari industri di Jepara dan Solo.
Menurut Sunarto, proses pengolahan sampah plastik dimulai dengan pengumpulan dari para pemulung dan warga yang secara mandiri mengumpulkan plastik bekas. Sampah yang terkumpul kemudian dipilah berdasarkan jenis dan kualitasnya sebelum diolah lebih lanjut.
“Sampah plastik yang bersih langsung masuk ke proses pencacahan, sementara yang kotor harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum bisa didaur ulang. Kami memastikan bahwa setiap plastik yang diproses memiliki nilai jual yang baik,” ujar Sunarto’ usai peroleh kunjungan Bupati Kudus Sam’ani Intakoris, Minggu (16/03/2025).
Ia menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis plastik dengan harga yang bervariasi di pasaran. Plastik jenis PET (Polyethylene Terephthalate), yang banyak ditemukan pada botol air mineral dan minuman ringan, memiliki nilai jual tertinggi. Plastik PET bersih tanpa label dan tutup dihargai sekitar Rp9.000 per kilogram, sementara yang masih bercampur dengan label dan tutup berkisar Rp7.000 – Rp8.000 per kilogram.
Selain PET, plastik jenis HDPE (High-Density Polyethylene), yang umum ditemukan pada botol sampo dan galon air, memiliki harga jual sekitar Rp5.000 – Rp6.000 per kilogram. Sementara plastik PP (Polypropylene), yang sering digunakan untuk wadah makanan dan tutup botol, dihargai sekitar Rp4.000 – Rp5.000 per kilogram.
Ada pula plastik campuran atau “kopi-kopi”, yaitu plastik dengan berbagai bahan yang sulit dipilah secara spesifik.
Jenis ini memiliki harga jual paling rendah, sekitar Rp2.000 – Rp3.500 per kilogram. Plastik yang sudah dicacah biasanya dihargai lebih tinggi karena lebih siap untuk diolah oleh pabrik daur ulang.
Sunarto menambahkan bahwa kapasitas pengolahan di Kudus masih terbatas, dengan rata-rata produksi sekitar 4 hingga 5 ton per bulan, jauh di bawah permintaan yang mencapai 20 ton per bulan.
Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak peluang yang bisa dikembangkan dalam industri daur ulang plastik di daerah tersebut.
Namun, ia juga menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah plastik, terutama terkait kurangnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah sejak dari rumah.
Menurutnya, masih banyak warga yang mencampur sampah plastik dengan sampah organik, sehingga menyulitkan proses daur ulang dan menurunkan kualitas plastik yang bisa dijual.
Untuk meningkatkan efisiensi pengolahan, beberapa pengelola sampah plastik di Kudus sudah mulai menggunakan mesin pencacah dan pencuci otomatis.
Dengan teknologi ini, proses pengolahan menjadi lebih cepat dan kualitas plastik daur ulang yang dihasilkan lebih baik. Namun, Sunarto mengakui masih banyak pelaku usaha kecil yang mengandalkan tenaga manual karena keterbatasan modal.
Ia mendorong adanya dukungan dari pemerintah maupun investor untuk membantu meningkatkan kapasitas produksi.
Sebagai langkah ke depan, Sunarto berencana menggandeng lebih banyak kelompok masyarakat, termasuk karang taruna dan kelompok ibu rumah tangga, agar mereka bisa ikut serta dalam pengelolaan sampah plastik.
Ia optimistis bahwa dengan kerja sama antara berbagai pihak, Kudus dapat menjadi salah satu daerah percontohan dalam pengelolaan sampah plastik yang ramah lingkungan sekaligus bernilai ekonomis.(YM/YM)