Kudus, isknews.com – Merasa prihatin dengan keberadaanya produk budaya khas Kudus yang nyaris punah yakni Caping Kalo. Salah satu aksesoris utama pada baju wanita adat Kudus dan merupakan budaya nusantara serta warisan leluhur yang tak ternilai harganya.
Nojorono Kudus dengan berbagai kreasi seninya, berupaya membangkitkan kembali popularitas salah satu warisan berharga dengan menggelar kontemplasi Mahakarya Caping Kalo. Mementaskan Seniman lukis Iwan Sulistyo, maestro pianis Ary Sutedja yang menggandeng penyanyi seriosa Christophoros Stamboglis. Puncak acara malam kontemplasi dengan pementasan Tari Cahya Nojorono karya maestro tari nasional Didik Ninik Thowok.
Menurut direktur PT Nojorono Tobacco International Arief Goenadibrata, dalam press confrence dengan awak media jelang pementasan, saat ini, tercatat pengrajin Caping Kalo, hanya tersisa dua orang yang masih menekuni pembuatannya hingga saat ini.
“Sehingga kami merasa perlu turut andil dalam pelestarian Caping Kalo, Nojorono Kudus berupaya mengembalikan popularitasnya melalui tarian,” ujarnya, Sabtu (28/04/2024) sore.
Dijelaskannya, Tari Cahya Nojorono dikemas apik, memadukan nilai budaya Kudus dengan warisan nilai Nojorono Kudus Bersatu, Berdoa, Berkarya dan Cipta, Karsa, Rasa, Cahya yang merupakan pengejawantahan arti kata Nojorono sendiri.
“Tari Cahya Nojorono ditampilkan secara apik, disempurnakan dengan kehadiran Caping Kalo yang tak hanya sekadar mempercantik tarian, namun mempertegas identitas warisan budaya khas Kudus. Dikemas menjadi tiga segmen, menjadikan Tari Cahya Nojorono sebagai tarian yang sarat akan makna filosofis didalamnya. Di segmen pertama, gerakan tari dari petani tembakau dengan atribut Caping Kalo yang sedang mengawali persiapan panen dengan berdoa,” terangnya,
Dilanjut dengan gerakan melingkar menyatu, mewakili gambaran para petani bersatu untuk memilih daun tembakau terbaik. Turut dilengkapi atribut daun berwarna hijau, selain melambangkan pilihan daun yang akan dituai, juga mewakili makna kejelian para petani dalam memanen daun terbaik.
Kedua, gerak gemulai mengayunkan daun-daun, menunjukkan proses dinamika tantangan musim kesiapan daun tembakau sebagai bahan baku utama hingga siap olah, yang diakhiri dengan kemunculan penari yang memerankan tokoh Krisna muda.
“Kemunculan Krisna muda yang tampil menggunakan topeng, merepresentasikan makna penyangkalan jati diri dan ego individu untuk menyelaraskan diri dengan nilai-nilai warisan Nojorono Kudus,” terangnya.
Memasuki segmen ketiga, melanjutkan representasi makna Bersatu dan Berdoa, Krisna muda mengusung sebuah bola yang menjadi perwakilan makna hasil kerja, yakni Berkarya yang memberikan cahaya.
“Penari yang terlibat dalam koreografi Tari Cahya Nojorono merupakan karyawan Nojorono Kudus yang digembleng langsung oleh sang maestro tari Didik Ninik Thowok. Bentuk formasi yang terdiri dari 3 dan 2 penari yang menandakan tahun berdirinya Nojorono Kudus di tahun 1932, dan diakhiri dengan formasi penari akhir, yang terdiri dari 14 dan 10 penari yang mewakili tanggal dan bulan dikukuhkannya Nojorono Kudus, yakni 14 Oktober,” tuturnya. (YM/YM)