Kudus, Isknews.com – Filsuf Jerman Martin Heidegger, dalam karyanya “Being and Time” (1927), mengangkat pertanyaan mendasar tentang “keberadaan” atau “being.” Karya ini dianggap monumental dalam dunia filsafat, memperkenalkan cara berpikir baru tentang eksistensi manusia dan menjadi dasar bagi aliran pemikiran seperti eksistensialisme, hermeneutika, dan fenomenologi.
Melalui “Being and Time,” Heidegger mengupayakan jawaban atas pertanyaan utama dalam filsafat yang sering terabaikan: apa arti dari “being”? Ia tidak berfokus pada pertanyaan metafisik umum, seperti substansi segala sesuatu, tetapi mengarahkan perhatiannya pada konsep “dasein.”
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang sadar dan hadir di dunia nyata.
Heidegger berpendapat bahwa filsafat Barat sejak era Plato telah melupakan pertanyaan penting ini. Menurutnya, filsafat Barat terlalu asyik dengan konsep-konsep abstrak yang kurang terkait dengan pengalaman manusia sehari-hari.
Oleh sebab itu, “Being and Time” menjadi upayanya untuk menghidupkan kembali perdebatan tentang keberadaan manusia.
Dalam konteks “Being and Time,” dasein secara harfiah berarti “ada di sini” atau “keberadaan di sana.” Istilah ini digunakan untuk menggambarkan manusia sebagai makhluk yang sadar dan terlibat aktif dalam dunia.
Manusia tidak dipandang sebagai entitas terpisah yang hanya mengamati dunia, tetapi sebagai entitas yang berinteraksi dan membentuk dunia melalui tindakan, keputusan, dan pemikiran mereka.
Keunikan dasein terletak pada kesadaran manusia akan keberadaan dirinya sendiri dan kesadaran akan kematian sebagai akhir eksistensi.
Manusia tidak hanya “ada” seperti objek-objek lain di alam semesta, tetapi juga selalu terlibat dalam proses untuk menjadi, memahami diri, dan menafsirkan dunia di sekitar mereka. Konsep ini membawa pendekatan yang baru dalam memahami eksistensi manusia.
“Hubungan eksistensi dan waktu sangat erat. Manusia harus memahami eksistensinya dalam konteks masa lalu, masa kini, dan masa depan,” ungkap Marini Nur, pembina SMP 3 Satu Atap Gebog.
Ia menambahkan, pemahaman tentang siapa kita bergantung pada pengalaman masa lalu, realitas masa kini, dan harapan masa depan, yang menggambarkan keterkaitan manusia dengan waktu.
Heidegger menyebut struktur waktu ini sebagai “temporalitas.” Bagi Heidegger, eksistensi manusia adalah proses yang terus berkembang dalam waktu, dan kesadaran bahwa hidup memiliki batasan waktu menjadi bagian mendasar dari pemahaman kita tentang eksistensi.
Kesadaran akan keterbatasan ini menjadi motivasi bagi manusia untuk merencanakan dan membentuk masa depan.
Dalam “Being and Time,” Heidegger juga memperkenalkan konsep autentisitas (authenticity) dan ketidaktulusan (inauthenticity). Autentisitas merujuk pada cara hidup di mana seseorang menerima dan menghadapi kenyataan hidup, termasuk kematian, dengan sikap jujur dan bertanggung jawab.
Menjalani hidup yang autentik berarti menyadari keterbatasan dan tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang arah hidup.
Sebaliknya, ketidaktulusan terjadi ketika seseorang hidup dengan mengikuti norma-norma sosial secara pasif atau dengan mengabaikan kenyataan bahwa hidup mereka terbatas oleh waktu.
“Heidegger menyatakan bahwa kebanyakan manusia hidup dalam kondisi ketidaktulusan, mengikuti arus kehidupan tanpa secara sadar mempertimbangkan pilihan mereka atau arti keberadaan mereka,” jelas Marini.
Salah satu aspek fundamental yang dibahas Heidegger adalah kesadaran akan takdir atau “keberadaan-menuju-nasibnya.”
Menurut Heidegger, manusia berbeda dari makhluk lain karena mereka menyadari keterbatasan hidup dan nasib yang menanti mereka. Kesadaran akan takdir ini memberi bentuk pada cara manusia hidup dan mengambil keputusan.
“Menjalani hidup dengan kesadaran penuh akan nasib memungkinkan seseorang hidup secara autentik,” tambah Marini.
Sebaliknya, melarikan diri dari kenyataan hidup atau menolak menghadapi kematian membawa seseorang pada hidup yang tidak autentik.
“Hidup dengan kejujuran pada nasib kita sendiri memungkinkan kita hidup dengan penuh makna.”ujarnya.
Heidegger juga memperkenalkan konsep “Das Man,” yang berarti “seseorang” atau “orang lain.” “Das Man” merujuk pada kecenderungan manusia untuk hidup secara tidak autentik dengan mengikuti norma dan harapan masyarakat tanpa mempertanyakannya.
Kondisi ini, menurut Heidegger, membuat individu kehilangan identitas unik dan kebebasan dalam memilih jalan hidupnya. Heidegger berpendapat bahwa rutinitas sehari-hari sering membawa kita kepada konvensi sosial yang mengaburkan pemahaman kita tentang diri sendiri dan makna keberadaan. ‘
“Dengan mengikuti harapan masyarakat, kita berisiko terpisah dari pemahaman eksistensi sejati kita.” tandas Marni (Red)