Jepara, isknews.com – Ada tardisi unik dari sebuah Desa yang bernama Desa Tegalsambi , Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Nama tradisi unik itu adalah Perang Obor. Tradisi yang di kemas dalam paket pariwisata Kabupaten Jepara dengan tajuk “Jepara Culture Festival” tersebut pada pelaksanaanya malam tadi (2/5), dihadiri oleh Bupati Jepara Achmad Marzuki , Wakil Bupati, Subroto, serta didampingi anggota Forkopimda Kabupaten Jepara, Kepala Dinas Pariwisata, Camat Tahunan dan Tuan Rumah Kades Tegalsambi Agus Santoso.
Bupati Jepara Marzuki dalam kata sambutannya menyampaikan, “ Dalam Perang Obor malam ini, akan digunakan sebanyak 300 obor yang terbuat dari klaras dan blarak yang akan menjadi alat perang obor bagi 35 pemuda desa ini, kami berharap tradisi perang obor ini dapat menjadi agenda rutin pariwisata dan menjadi salah satu destinasi wisata tradisional yang harus di kembangkan dan disosialisasikan kepada para wisatawan,” katanya.
Sementara itu, sebelum pelaksanaan acara tradisi Perang Obor, Kepala Desa Tegalsambi, Agus Santoso, di kediamannya, menyelenggarakan jumpa pers dan menceritakan asal muasal tradisi perang obor kepada media,” tradisi ini berawal dari mitos Ki Gemblong dengan Kiai Babadan. Ki Gemblong merup penggembala hewan milik Kiai Babadan. Suatu ketika, hewan-hewan yang digembal Ki Gemblong kurus dan beberapa jatuh sakit.
“Setelah diselidiki, ternyata Ki Gemblong tidak serius merawat hewan-hewan itu. Malah ditinggal mencari ikan dan udang,” kata Agus.
Geram melihat ulah Ki Gemblong, Kiai Babadan marah. Saat Ki Gemblong membakar ikan dan udang di dekat kandang hewan, Kiai Babadan murka dengan menendang-nendang perapian. Tak pelak, percikan api membakar batang padi kering. Lalu, api membesar membakar kandang.
“Saat terjadi kebakaran itu, justru hewan-hewan yang tadinya sakit menjadi sembuh. Kemudian yang kurus-kurus menjadi gemuk-gemuk,” tutur Agus.
Dari mitos tersebut, warga Tegalsambi menjalankan perang obor. Tradisi itu tak lain sebagai sarana berdoa kepada Tuhan agar ternak senantiasa sehat.
Dalam tradisi Perang Obor, peserta saling serang dan pukul dengan obor yang menyala berkobar-kobar. Dalam perang obor ini, tidak ada kawan maupun lawan. Semuanya punya kesempatan untuk saling memukulkan obor ke peserta lainnya.
Pelaksanaan tradisi diawali dengan pementasan teater sejarah asal mula terjadinya tradisi perang obor di desa yang sudah berlangsung secara turun temurun dan selalu dilangsungkan di perempatan desa setempat jelang tengah malam, pentas tersebut dilakukan oleh generasi muda nahdhatul Ulama dari Desa Tegalsambi.
Pada sekitar Pukul 21.30 usai pementasan teater, seorang tokoh adat. Kamituwa (sesepuh desa), memimpin ritual doa di perempatan jalan, dan setelah di buka oleh arahan Bupati yang sekaligus bupati menyalakan api pertama dan di sundutkan ke obor secara simbolis, langsung saja ke 35 pemuda yang telah disiapkan langsung saling serang dengan obor yang terbuat dari blarak (daun kelapa kering) dan klaras (daun pisang kering).
Kontan suasana malam itu menjadi berasa agak panas dan suasana jalan di desa tersebut menjadi merah membara, akibat api yang menjilat-jilat ke udara dari ratusan obor raksasa yang dinyalakan oleh para peserta, dan mulai di ayun-ayunkan untuk mengamati sasaran “lawan” yang akan diserang dengan senjata obor raksasa tersebut, “Meski mereka saling pukul, tapi tidak didasari rasa benci. Setelah perang berakhir, mereka kembali berbaikan, justru tradisi ini menambah kerukunan warga,” pungkas Agus.
Dalam perang tersebut memang terjadi peserta perang obor yang terluka, namun pihak panitiya sudah mempersiapkan ramuan dengan ritual khusus, yang mereka klaim sangat mujarab bagi menyembuhkan luka bakar para peserta akibat senjata obor klaras mereka mengenai anggota tubuh peserta, dan benar saja, dari pantauan media ini para peserta yang terluka bakar, menjadi bugar kembali setelah tubuhnya dibalur oleh “cairan khusus” tersebut, seperti yang dialami Rosul (40), dirinya merasa fit kembali setelah luka bakarnya di olesi ramuan tersebut. (YM)