KUDUS, isknews.com – Bupati Kudus H Musthofa, bersama jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda), Jumat (14/8), hadir di DPRD Kabupaten Kudus, dalam rangka mendengarkan pidato kenegaraan Presiden RI Joko Widodo. Acara yang dikemas dalam Sidang Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Kudus itu, juga dihadiri Sekda, para kepala SKPD, camat dan kepala desa/kelurahan se Kabupaten Kudus.
Sidang dibuka dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Kudus Masan SE, sekitar 20 menit sebelum dimulainya pidato kenegaraan Presiden RI Joko Widodo, yang menyampaikkan Pengantar Rancangan Undang Undang (UU) Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) dan Nota Keuangan Tahun Anggaran (TA) 2016. Sehingga setelah sidang sempat diskors sejenak dan Bupati beserta jajaran Forkompinda kertua dewan menempati tempat duduk yang disediakan, acara mendengarkan presiden pun dimulai tepat pada waktunya.
Pressiden RI Joko Widodo, dalam pidato kenegaraannya itu, antara lain menegaskan, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang besar, kita harus percaya diri, harus optimis, bahwa kita dapat mengatasi segala persoalan yang menghadang di hadapan kita. Selama ini kita terjebak pada pemahaman bahwa melambannya perekonomian global, yang berdampak pada perekonomian nasional adalah masalah paling utama. Padahal kalau kita cermati lebih seksama, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, sekali lagi, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, juga berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa.
Menipisnya budaya saling menghargai, mengeringnya kultur tenggang rasa, baik di masyarakat maupun institusi resmi seperti lembaga penegak hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik, menyebabkan bangsa ini terjebak pada lingkaran ego masing-masing. Hal ini tentu saja menghambat program aksi pembangunan, budaya kerja, semangat gotong royong, dan tumbuhnya karakter bangsa.
Lebih-lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Masyarakat mudah terjebak pada ‘histeria publik’ dalam merespon suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.
Tanpa kesantunan politik, tatakrama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, kita akan kehilangan optimisme, dan lamban mengatasi persoalan-persoalan lain termasuk tantangan ekonomi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kita akan miskin tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. (DM)