KUDUS,isknwes.com – Dalam Catatan Kantor Dinas social, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kudus, kasus – kasus unjuk rasa pekerja rokok di Kabupaten Kudus selama tahun 2014, untuk yang terbesar, ada dua kasus, yakni Federasi Serikat Pekerja Rokok Makanan Minuman-Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FRTMM-KSPSI) Kabupaten Kudus dan Komunitas Perusahaan Rokok Kudus, pada 7 Juli 2014, dan Aliansi Serikat Pekerja (ASP) Kabupaten Kudus, pada 10 Oktober 2014. Pengunjuk rasa masing-masing menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomer 109 tahun 2012, dan pemberian upah buruh yang lebih layak.
Keterangan yang dihimpun isknews.com, dari Dinas Sosial Tenaga Kerja Transmigrasi Kabupaten Kudus, (3/8), menyebutkan, unjuk rasa oleh FSP-RTMM-KSPSI Kabupaten Kudus saat itu menunkan puluhan buruh rokok, menuntut pencabutan Peratusan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Dasar dari tuntutan tersebut adalah, PP 109/2012 dan Permenkes 28/2013 akan berakibat mematikan industri rokok, pabrik rokok mati = PHK besar-besaran, pabrik rokok golongan kecil tolak pemasangan gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok. Rokok kretek harus diselamatkan. Jika industrinya gulung tikar, maka ribuan buruh rokok di Kabupaten Kudus dipastikan akan menganggur. Industri rokok yang sudah ada sejak puluhan tahun harus tetap dipertahankan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Tercatat jumlah buruh yang bekerja di sektor rokok di Kabupaten Kudus mencapai 73.460 orang.
Sedangkan unjuk rasa yang oleh pekerja yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja (ASP) Kabupaten Kudus, dengan Koordinator Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera (KSBSI) Kudus, Slamet Machmudi, menuntut pemberian upah buruh yang layak, digelar di depan Gedung DPRD Kudus, dengan mengusung sejumlah kotak amal yang merupakan aksi protes atas rendahnya upah buruh saat ini. Dalam aksi pengunjuk rasa juga mendirikan tenda keprihatinan.
Dasar tuntutan, ketentuan upah minimum kabupaten (UMK) seharusnya diperuntukkan bagi buruh berstatus lajang dengan masa kerja 0–1 tahun, kenyataannya justru dijadikan upah maksimal bagi buruh.Penerapan UMK menjadi upah maksimum bagi buruh di Kudus, katanya, berjalan selama bertahun-tahun. Akibatnya para pengusaha merasa aman setelah memberikan upah kepada buruhnya dengan nominal UMK tanpa memperhatikan masa kerja, kapasitas dan profesionalisme yang dimiliki buruhnya. Kalaupun ada skala dan struktur upah, perbedaan jumlah nominal upah diantara para buruh tidak melebihi Rp 500 per hari.
ASP menilai ada yang salah dalam menentukan kualitas komponen KHL yang menyebabkan nilai UMK buruh di Kudus menjadi rendah dibandingkan dengan daerah lain yang memiliki kondisi industri yang sama atau lebih rendah dengan Kudus.(DM)