Kudus, isknews.com – Sejumlah pengusaha karaoke hall yang tempat usahanya di razia dan diminta untuk tutup oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan beberapa instansi lain, mengadukan kegelisahannya pada media ini, salah satunya adalah pengelola salah satu karaoke hall yang ada di lantai tiga mal terbesar di Kudus, (18/10), Didampingi oleh Sholeh, aktifis dan ketua LSM Gerakan Rakyat Solidaritas, para pengusaha itu merasa kecewa, karena menurutnya tempat karaoke yang dikelolanya adalah karaoke di hall terbuka, transparan dan pembayar pajak yang taat. Menurutnya usaha karoke yang dikelolanya merupakan jenis karaoke keluarga, dimana merupakan tempat bergembira bagi keluarga dan siapa saja yang mengisi kepenatan setelah berbelanja di mal yang masih dalam lingkup tempat usahanya.
Menurut mereka, mereka sangat menyesalkan dengan dilakukannya razia petang itu (16/10) pada sekitar pukul 20.30, dimana masih banyak pengunjung yang ada termasuk beberapa keluarga bahkan diantaranya dengan anak-anaknya, yang mebuat mereka ketakutan, kami menganggap usaha karaoke yang kami kelola ini tidak bertentangan dengan Perda yang saat ini berlaku, karena kami tidak menggunakan bilik-bilik tertutup seperti mereka.
Sementara itu Ketua LSM Gerakan Rakyat Solidaritas, Sholeh, yang mendampingi mereka menemui media ini mengatakan, “Bagi saya persoalan perda no 10 thun 2015 adalah kebodohan dari sistem pemerintahan yang ada di kabupaten Kudus, karena bagaimanapun perda ini adalah perda inisiatif dimana seharusnya pansus waktu itu didalam menerapkan pasal-pasal itu memiliki literature yang cukup, karena aturan itu diciptakan untuk melindungi semua aspek kepentingn masyarakat termsuk diantaranya kepentingan para pengguna jasa hiburan dan pengelola jasa hiburan, karena mereka meiliki hak untuk hidup sebagaimana warga Negara yang lain, sehingga saya sayangkan adanya perda ini atas dasar kepentingan politik, ini cuci piringnya masa akhir rezim Musthofa,” katanya.
“Makanya saya katakan ini jusru sebagai tindakan yang salah ketika Satpol PP melakukan tindakan-tindakan melebihi batas-batas dari yang seharusnya tertera dalam perda itu, dimana yang dilarang adalah (karaoke) yang didalam bilik, kenapa yang disikat adalah pukul rata semuanya termasuk yang di lakukan di Hall atau tempat yang lebih terbuka dan transparan. Menurut saya ini adalah tindakan yang berlebihan, dan saya harapkan bupati Musthofa harus bertanggung jawab mengenai hal itu, karena bagaimanapun ini menyangkut aspek kepentingan kami sebagai warga masyarakat yang menbutuhkan hiburan, tentang nyanyi di hall,” ujar aktifis berkacamata dan berambut kliwir ini.
“Dalam perda itu yang dilarang adalah karaoke yang dilakukan di dalam bilik, oke saya hargai perda itu karena pada awal munculnya perda, satu-satunya orang yang berani menolak munculnya perda itu adalah saya, dan ketika itu sudah menjadi aturan sayapun berusaha taat pada aturan, akan tetapi aturan itu jug mengikat, artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan pasal-pasal itu, jangan berlebihan, karena pressing sehingga jenis karaoke yang di hall juga disikat semuanya, kasihan mereka para pengusaha dan pekerja mereka juga punya anak dan istri yang menjadi tanggung jawab, sehingga bupati Musthofa saat ini harus berani minta maaf kepada pengusaha kafe-kafe hall terutama ada beberapa tempat yang turut serta dirasia, karena itu akan memicu pendapatan yang mungkin drop bahkan sepi, makanya saya anggap ini keliru,” pungkasnya.
Dihubungi secara terpisah, Abdul Halil, Komandan Satpol PP Kudus ketika dikonfirmasi terkait hal itu menyampaikan, “Mungkin beliau (LSM) kurang cermat dalam membaca amanat yang tertuang dalam Perda tersebut, jadi dalam amanat perda itu tidak boleh orang atau badan menyelenggarakan usaha karaoke, kecuali tiga hal, yang di perbolehkan oleh perda, adalah Karaoke sebagai fasilitas hotel, karaoke yang ada di rumah sendiri dan lomba karaoke, saya tahu semua itu pasti berpotensi pro dan kontra, peran saya hanya menegakkan apa yang menjadi amanat dalam perda tersebut,” jawab Halil singkat. (YM)