Pengantin Adat Kudus ; Terlupakankah?

oleh -2,122 kali dibaca

Kudus, merupakan sebuah kota kecil di Jawa Tengah, yang memiliki segudang kebudayaan menarik. Sebagai bukti bahwa peradaban pada masa lalu di kota ini telah berkembang, salah satunya adalah keberadaan pakaian pengantin adat kota Kudus. Saat itu, pengantin di Kudus mengenakan pakaian khas Timur Tengah bagi mempelai laki-laki dan pakaian khas Eropa bagi mempelai perempuan. Setelah akad nikah, biasanya dilakukan iring-iringan menuju rumah mempelai laki – laki.

Namun pada abad 21 ini, pemandangan iring – iring prosesi pernikahan adat Kudus, di mana puluhan dokar ( kereta kuda) berhias beriringan mengarak sepasang pengantin menyusuri jalanan kota, tak pernah dijumpai lagi. Sekarang hanya arakan mobil mewah yang digunakan sebagai pengganti dokar. Demikian pula pakaian yang dikenakan, yang lebih menjunjung trend masa kini daripada pakaian adat pengantin daerahnya. Padahal, pakaian adat pengantin Kudus memiliki keunikan tersendiri. Pakaian yang diberi nama “Toto Kaji ” merupakan perpaduan antara budaya Arab, Eropa (Portugis), dan Jawa.

Sisi keunikannya terdapat pada pihak laki-laki yang berasal dari Timur Tengah tetap mempertahankan pakaian adat mereka sendiri, sementara mempelai perempuan pun tetap mengenakan gaun Eropa, yang ketika itu sudah lebih dulu mempengaruhi masyarakat Kudus melalui para pedagang dari Barat.

“Gaun biasanya berwarna biru muda atau warna cerah lainnya.” Tutur Retno, salah satu perias senior di Kudus.

Posisi Kudus yang berada di pesisir pantai utara, membuat kota ini banyak disinggahi pendatang. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian menetap dengan membawa kebudayaannya sendiri-sendiri. Meski pakaian pernikahan adat Kudus dipengaruhi oleh budaya Timur Tengah dan Eropa, namun prosesi pernikahannya tetap kental dengan adat Jawa.

Adapun pengaruh Jawa tentunya terdapat pada prosesinya yang beraneka rupa. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang sangat berhati hati dalam hal apapun, termasuk urusan pernikahan.

Namun sayang, saat ini minat masyarakat Kudus terhadap pakaian pengantin adat Kudus dan upacara ritual pernikahan adat kudus menurun, bahkan banyak yang telah meninggalkan tradisi tersebut dan lebih memilih pada tradisi yang dianggap lebih modern dan praktis.

“Sejak tahun 1973 pakaian pengantin adat Kudus sudah jarang yang memakai.” Kata Retno. Barangkali bukan semata alasan kepraktisan yang membuat pakaian pengantin adat Kudus menjadi kian menghilang dan tak dikenal masyarakatnya sendiri, akan tetapi faktor utama justru karena tidak adanya kebanggaan masyarakat Kudus dengan pakaian pernikahan adatnya.

Membangun Kembali Semangat Cinta Budaya

Pada masa Sunan Kudus, kota ini menjadi daerah pesisir utara yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Hal tersebut secara tidak langsung melahirkan semangat dagang di kalangan masyarakatnya. Aktivitas tersebut diwariskan secara turun temurun, sehingga timbullah semboyan Gusjigang (Bagus, Ngaji, Dagang) dalam diri masyarakat Kudus. Bagus berarti memiliki akhlak yang mulia, Ngaji berarti pandai dalam ilmu agama, dan Dagang berarti lihai dalam berwirausaha. Banyaknya pedagang yang berasal dari Timur Tengah, lambat laun membuat para pedagang tersebut menetap di pusat kota kudus lama (daerah Kudus Kulon) dan berkeluarga di sana. Hal tersebut menunjukkan, bahwa Kudus pada masa lalu merupakan sebuah daerah penting yang menjadi persinggahan para pedagang dan menjadi tempat proses meleburnya berbagai peradaban dari daerah lain.

Masyarakat Kudus, sebagai warga timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan, adab, dan keluhuran sudah seharusnya bangga memiliki pakaian adat Kudus, sebagai hasil dari akulturasi peradaban yang unik. Terlebih dalam skala nasional sebagai warga negara Indonesia, dengan segala keramahannya, adat tradisinya, pulau-pulaunya yang menawan, dan iklimnya yang tropis membuat para wisatawan sangat tertarik dengan Indonesia. Nah, dengan potensi yang besar tersebut, untuk merealisasikannya seluruh lapisan masyarakat harus benar-benar bertindak pro-aktif terhadap eksistensi budayanya.

Akan tetapi, dengan pergeseran waktu yang tak diimbangi dengan upaya pelestarian budaya secara efektif, membuat pakaian adat ini terlupakan dan hanya menjadi kenangan. Sejumlah pengamatan menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat peduli dengan eksistensi kearifan lokal yang satu ini. Akan tetapi, masih sebatas keinginan sehingga untuk mewujudkannya pun membutuhkan usaha lebih dari sekedar angan. Karya nyata dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan dapat membangun kembali semangat cinta budaya.

KOMENTAR SEDULUR ISK :