Pengendalian Panganan Berpemanis, Demi Generasi Merdeka dari Konsumsi Manis Berlebih

oleh -935 kali dibaca
Ilustrasi anak-anak yang mengkonsumsi penganan bermanis (isknews)

Indonesia kini menghadapi tantangan serius dalam kesehatan masyarakat, terutama pada anak-anak usia sekolah. Menteri Kesehatan baru-baru ini menyatakan bahwa prevalensi diabetes di kalangan anak-anak usia sekolah mencapai 13%, dengan tren yang terus meningkat.

Masyarakat diminta untuk mulai mengontrol konsumsi gula maksimal empat sendok teh sehari. Pasalnya, panganan tinggi gula, karbohidrat, tepung, dan minyak adalah penyebab utama diabetes tipe-2, salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM) tertinggi di Indonesia.

Konsumsi Manis: Ancaman Global

Situasi ini tidak hanya menjadi perhatian nasional, tetapi juga global. Konsumsi makanan dan minuman manis yang berlebihan telah menjadi masalah kesehatan serius. Anak-anak usia sekolah, dengan metabolisme yang masih berkembang dan pola makan yang sering kurang terkontrol, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak buruk konsumsi gula berlebih.

Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makanan dan minuman manis berlebih pada anak-anak usia sekolah di Indonesia berkontribusi signifikan terhadap peningkatan prevalensi PTM seperti obesitas, diabetes melitus tipe 2, dan penyakit jantung.

Meskipun data spesifik mengenai prevalensi PTM pada anak usia sekolah yang diakibatkan langsung oleh konsumsi makanan dan minuman manis masih terbatas, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa konsumsi makanan manis di Indonesia paling banyak terdapat pada rentang usia muda.

Semakin muda golongan usia, semakin tinggi konsumsi makanan manis, dengan persentase kelompok usia 3-4 tahun yang mengonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi mencapai 59,6%.

Anak-Anak di Bawah Ancaman Gula

Tren serupa juga terlihat dalam konsumsi minuman manis. Kelompok usia 3-4 tahun memiliki persentase tertinggi, yaitu 68,6%, diikuti oleh kelompok usia 5-9 tahun dengan 66,5%, kelompok usia 10-14 tahun dengan 61,9%, dan kelompok usia 15-19 tahun dengan 56,4%. Data ini sejalan dengan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang menunjukkan pola konsumsi serupa.

Penyebab Konsumsi Tinggi

Salah satu pemicu utama tingginya konsumsi makanan dan minuman berkadar gula tinggi adalah kemudahan akses. Survei dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukkan bahwa pembelian tertinggi makanan dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) terjadi di warung-warung terdekat dan minimarket. Kemudahan akses ini berbanding lurus dengan frekuensi dan volume konsumsi.

Ringkasan Kebijakan UNICEF 2023 menyimpulkan bahwa faktor pemicu utama tingginya konsumsi makanan dan minuman berpemanis adalah sifat adiktifnya, yang diperparah oleh kemudahan akses dan promosi besar-besaran. Harga yang relatif murah juga menjadi faktor pendukung, di mana studi menunjukkan bahwa minuman sehat dalam kemasan botol justru dijual lebih mahal, sementara minuman berpemanis semakin terjangkau.

Kebijakan Pengendalian: Tantangan Implementasi

Sebagai langkah pengendalian, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Regulasi ini menegaskan pentingnya pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, dengan menentukan batas maksimal kandungan ketiga komponen tersebut dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.

Setiap orang dilarang menjual atau mengedarkan pangan olahan yang melebihi batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak di sarana pendidikan dan tempat bermain anak. Upaya ini bertujuan melindungi generasi muda, khususnya anak-anak usia sekolah, dari konsumsi makanan dan minuman berpemanis tinggi.

Implementasi yang Menantang

Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan signifikan. Salah satu tantangan utama adalah komitmen dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk alokasi anggaran yang berkelanjutan untuk pengawasan dan penegakan hukum. Meski pengaturan ini akan berlaku efektif dua tahun setelah penetapan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak, perlu segera ada tindakan strategis untuk memastikan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang efektif.

Tantangan Sosial dan Ekonomi

Aspek sosial ekonomi juga menjadi tantangan, di mana akses masyarakat terhadap makanan sehat masih terbatas di beberapa daerah. Harga makanan sehat yang relatif lebih mahal dan ketersediaannya yang kurang menjadi kendala.

Selain itu, promosi edukasi untuk meningkatkan kesadaran keluarga, terutama orang tua, mengenai bahaya konsumsi gula berlebih dan pentingnya pola makan sehat perlu ditingkatkan. Kebiasaan konsumsi makanan dan minuman manis yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat sulit diubah dalam waktu singkat.

Kolaborasi untuk Masa Depan Sehat

Mendesak untuk menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung perilaku makan sehat. Memastikan ketersediaan makanan dan minuman sehat di kantin sekolah, melarang penjualan makanan dan minuman manis di sekitar sekolah, dan mengadakan program edukasi gizi adalah langkah-langkah penting. Kolaborasi antara satuan pendidikan, satuan kesehatan setempat, dan masyarakat sekitar sekolah sangat diperlukan.

Pemerintah Daerah juga harus memainkan peran aktif dalam mendukung implementasi kebijakan di tingkat lokal, agar pengendalian panganan berpemanis berjalan efektif dan generasi muda Indonesia dapat merdeka dari konsumsi manis berlebih.


R Mochtar Mahendrata Kusumasastra, S.IP, MPH
Peminat Kebijakan dan Hukum Kesehatan

KOMENTAR SEDULUR ISK :

No More Posts Available.

No more pages to load.