Semarang – Banyaknya hasil penelitian yang diciptakan di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan sumberdaya perekayasa. Padahal, untuk mengembangkan teknologi yang sudah ditemukan, butuh tenaga perekayasa.
“Berdasar Permendagri Nomor 20 tahun 2011 tentang sumberdaya penelitian seharusnya ada peneliti, perekayasa dan sumberdaya lain. Kita tidak punya perekayasa. Setelah kita kumpulkan Jawa dan Kalimantan, ternyata semua nggak punya. Bahkan, Jawa Timur yang dijadikan patokan Jawa Tengah saja nggak punya tenaga perekayasa. Adanya peneliti dan tenaga lainnya,” beber Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Jawa Tengah Ir Teguh Wynarno Haroeno MM pada peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-20 dan Pameran Produk Inovasi 2015, Sabtu (24/10), di Lawang Sewu.
Jika memungkinkan, Teguh berharap pejabat struktural bisa merangkap menjadi tenaga perekayasa.
Sepakat dengan Teguh, Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP berpendapat ketersediaan tenaga perekayasa sangat penting. Namun, gubernur menyarankan sementara waktu tenaga perekayasa dipenuhi dengan cara bekerjasama dengan perguruan tinggi.
“Ini perlu kita dorong. Meskipun pemerintah terbatas, maka tadi saya matur ke Pak Menristek Dikti agar selama kita belum ada, perguruan tingginya kita ajak. Industri kita ajak. Dengan mengajak perguruan tinggi dan industri, harapannya bisa menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat. Kalau tidak, nanti litbang itu menjadi tidak bisa responsif terhadap persoalan yang ada di daerah ,” terangnya.
Di Jawa Tengah, lanjutnya, salah satu contoh yang butuh perekayasa adalah kedelai. Penelitiannya selama ini sudah dilakukan, tapi belum ada pengembangannya. Akibatnya, kebutuhan kedelai belum pernah bisa tercukupi. Hal ini menjadi masalah karena konsumsi masyarakat terhadap kedelai sangat tinggi.
Ditambahkan, riset dan teknologi belum menjadi tradisi di Tanah Air. Sehingga, seringkali dianggap tidak penting. Padahal, riset dan teknologi punya banyak peranan dalam menyelesaikan persoalan di berbagai bidang.
“Di negara-negara maju itu riset dan pengembangannya itu luar biasa. Nasa itu cari apa. Nyari penelitian sampai duitnya habis-habisan. Melakukan ujicoba. Karena dia memproyeksikan visinya jauh ke depan,” ujar orang nomor satu di Jawa Tengah itu.
Sementara itu, Menristek Dikti Prof M Nassir mengemukakan inovasi tidak datang dengan sendirinya tapi berawal dari perguruan tinggi yang melakukan penelitian. Penelitian berpijak dari pemikiran apa yang perlu dikontribusikan kepada masyarakat. Karena itu, harus terjadi dalam penelitian dan pengembangan. Artinya ada kemitraan antara akademisi, pemerintah dan dunia usaha.
Lebih lanjut, Nassir membeberkan Kemenristek Dikti sudah melakukan beragam penelitian dan hasil rekayasa di berbagai bidang. Antara lain di bidang peternakan yang berhasil melakukan rekayasa terhadap sapi lokal jenis PO dari Kebumen. Sapi lokal yang rata-rata hanya memiliki bobot 200 – 300 kg bisa direkayasa hingga 550 kg dengan usia perawatan yang sama, yakni tiga tahun.
Kemenristek Dikti juga melakukan rekayasa pada lahan irigasi teknis. Hasilnya, di Boyolali berhasil panen raya sebanyak 10,9 ton dan di Sukoharjo 11,9 ton. Saat ini, untuk mengatasi persoalan pupuk, tengah dikembangkan rekayasa pupuk organik.