Refleksi dari Monumen Kretek: Mengingat Sejarah, Merayakan Budaya

oleh -52 Dilihat
Foto: ist.

Kudus, isknews.com – Suara ‘kemeretek’ yang khas ketika sebatang rokok kretek dinyalakan bukan sekadar bunyi pembakar tembakau dan cengkeh. Ia adalah gema sejarah, tradisi, dan identitas budaya Indonesia yang telah hidup lebih dari seabad. Bagi sebagian orang, kretek mungkin hanya sebatang rokok. Namun, bagi jutaan masyarakat Indonesia, kretek adalah bagian dari denyut kehidupan: dari dapur pengrajin di Kudus hingga meja perundingan budaya dunia.

Semangat inilah yang kembali dihidupkan melalui acara Acara Puja Doa Kretek di Djarum OASIS Kretek Factory, Kudus, menutup malam dengan suasana yang hening namun sarat makna. Dari pembacaan kronika hingga puisi, dari sharing Kyai H. Aslim Akmal hingga performance art yang memukau, semua rangkaian kegiatan berhasil menghadirkan penghormatan yang mendalam terhadap kretek sebagai simbol budaya, sejarah, dan identitas masyarakat Kudus.

Malam itu bukan sekadar seremonial, melainkan refleksi bersama tentang perjalanan panjang kretek dan peranannya dalam kehidupan jutaan orang. Cahaya obor yang berpendar, aroma dupa yang menguar, dan doa-doa yang terlantun menjadi penutup yang khidmat, mengingatkan semua yang hadir bahwa kretek bukan hanya industri atau komoditas, tetapi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan dan spirit Indonesia yang terus menyala.

Puja Doa Kretek yang digelar PT Djarum di Djarum OASIS Kretek Factory, Kudus, sebagai bagian dari peringatan Hari Kretek Nasional pada 3 Oktober. Sebuah momen refleksi dan penghormatan atas sejarah serta budaya kretek yang telah menjadi bagian penting dari warisan bangsa Indonesia.

Suasana khusyuk malam itu mengiringi jalannya prosesi Puja Doa Kretek. Udara malam yang lembut berpadu dengan aroma dupa yang perlahan mengepul, seakan membawa masyarakat yang hadir larut dalam kekhidmatan. Setiap doa yang terlantun menggema di antara cahaya, menciptakan suasana sakral yang sulit dilupakan.

Acara yang digelar di depan Monumen Kretek Indonesia itu menjadi lebih dari sekadar seremonial, acara ini adalah bentuk rasa syukur bersama. Masyarakat yang hadir duduk berdampingan dalam keteduhan malam, mengenang perjalanan panjang kretek yang telah menjadi denyut nadi kehidupan ekonomi di Kudus. Melalui doa yang dipanjatkan, semua seakan bersatu dalam satu makna: mensyukuri hadirnya kretek sebagai anugerah dan salah satu sumber penghidupan yang mengakar kuat di tanah Kudus.

Selain itu, para anggota Teater Djarum tampak kompak mengenakan busana bernuansa putih ala upacara adat Bali, menambah kesan estetis sekaligus sakral pada prosesi tersebut. Rangkaian acara yang dilaksanakan oleh Teater Djarum berlangsung kurang lebih selama dua jam dan berjalan dengan tenang, penuh kekhidmatan dari awal hingga akhir.

Pembacaan Kronika Kretek

Prosesi acara diawali dengan berjalan bersama sambil membawa perlengkapan yang terdiri atas sembilan elemen bahan utama pembuatan rokok kretek , juga ada dupa dan bunga, serta obor yang menyala di tangan para pelaku prosesi. Cahaya obor yang menari di kegelapan malam menjadi pembuka yang memikat bagi seluruh rangkaian kegiatan ini.

Setibanya di Monumen Kretek, prosesi dilanjutkan dengan pembacaan kronika kretek oleh Wijayanto Franciosa dan Tania Kirana, sebuah pengingat dan penambah pengetahuan bagi masyarakat tentang asal-usul serta perjalanan panjang kretek sebagai warisan budaya dan industri khas Kudus.

Pembacaan Puisi ‘Pamflet Kretek’

Pembacaan puisi “Pamflet Kretek” karya Asa Jatmiko menjadi salah satu inti acara ini. Puisi ini menggambarkan bagaimana persoalan sosial di Indonesia terjalin erat dengan sejarah dan budaya kretek.

Dalam wawancara, Asa Jatmiko mengatakan, “Kita bukan cuma ngomong soal industri kretek semata, tapi kita ngomong soal orang-orang yang hidupnya bergantung dengan kretek.”

Untuk hidup, semangat mereka tak pernah redup, menjulang seperti Muria.

Erat bekerjasama, menjamin kualitas rasa.

Melalui diksi yang lugas namun sarat makna, Asa Jatmiko menghadirkan potret perjuangan para pegiat kretek di tengah modernisasi dan kebijakan yang sering kali tidak berpihak. Pembacaan puisi ini bukan sekadar pertunjukan sastra, tetapi juga bentuk refleksi sosial yang mengingatkan kita bahwa di balik sebatang kretek tersimpan kisah panjang tentang ketahanan, perjuangan, dan suara rakyat yang tak boleh dilupakan.

Renungan Kretek dalam Budaya, Nyala Spirit Indonesia

Acara dilanjutkan dengan sesi sharing bersama Kyai H. Aslim Akmal yang menekankan bahwa kretek bukan sekadar racikan tembakau dan cengkeh, melainkan identitas serta kearifan lokal masyarakat Kudus. “Rokok kretek telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan di pesantren. Santri sering menjadikannya teman sejati dan membawanya saat sowan kepada kiai,” ujar Kyai Aslim.

Ia juga mengenang tradisi tahun 1970-an ketika dalam sesajen kerap ditemui bunga tabur, bubur, degan, uang koin, hingga sebatang kretek. Menurutnya, industri kretek wajib dilestarikan karena selain bernilai budaya dan sejarah, juga menjadi spirit masyarakat. “Perdebatan soal hukum merokok, haram, halal, makruh, atau sunnah, itu tergantung pada ‘illat atau penyebabnya. Yang jelas, kretek adalah simbol budaya yang menyala dalam perjalanan bangsa Indonesia,” tegasnya.

“Kretek” Performance Art

Performance art juga turut hadir dalam rangkaian prosesi ini. Satu per satu para penampil bangkit dan mulai meliukkan tubuhnya, menambahkan dinamika yang memikat malam itu. Setiap gerakan tampak menyatu dengan cahaya obor dan aroma dupa, menghadirkan pengalaman budaya yang mendalam sekaligus berkesan bagi semua yang hadir.

Menariknya, pertunjukan yang memukau ini lahir dari persiapan yang tergolong singkat. Menurut Lulu, salah satu penampil, mereka hanya sempat melakukan latihan sekali sebelum malam Puja Doa Kretek.

“Tahun ini yang baru itu ada performing arts dari kita, dan kemarin kita cuma latihan satu kali aja,” ujarnya. Kesederhanaan persiapan ini justru menegaskan kemampuan profesional dan kekompakan tim, yang mampu menghadirkan pertunjukan sarat makna meski dalam waktu yang terbatas.

Jalan Sunyi (Tapa Bisu) – Tanpa Alas Kaki

Prosesi terakhir dimulai dengan penyalaan obor, yang disambung secara bergantian hingga setiap peserta memegang obor yang menyala. Selanjutnya, mereka berjalan bersama mengelilingi Monumen Kretek dalam keheningan serta tanpa alas kaki (tapa bisu). Perjalanan ini menjadi momen perenungan, introspeksi diri, dan prihatin. Sebuah pengingat bahwa di hidup yang riuh ini kita juga butuh ruang untuk diam.

Selain memegang obor, beberapa peserta juga membawa sembilan elemen bahan pembuat kretek, yaitu bunga lawang, daun salam, pala, kayu manis, adas manis, cengkih, andaliman, kapulaga jawa, dan kelembak. Langkah-langkah mereka yang tertib di bawah cahaya obor, berpadu dengan keberadaan elemen-elemen ini, menciptakan pemandangan yang khidmat dan sarat makna, seolah setiap gerakan membawa doa, harapan, dan penghormatan terhadap kekayaan alam serta tradisi kretek.

Malam Puja Doa Kretek pun berakhir dengan kesan mendalam. Dari kronika hingga puisi, dari doa hingga performance art, setiap rangkaian menghadirkan bukan hanya seremonial, melainkan ruang perenungan kolektif tentang arti kretek bagi masyarakat. Sebuah pengingat bahwa kretek lebih dari sekadar produk industri, melainkan simbol identitas, rasa syukur, dan kebersamaan yang hidup di tengah masyarakat Kudus. Di balik aroma dupa yang perlahan memudar dan cahaya obor yang meredup dan doa doa yang terlantun menjadi penutup yang khidmat, tersisa keyakinan bahwa kretek adalah simbol budaya, identitas, dan spirit Indonesia yang akan terus menyala, melampaui zaman. (AS/YM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :