Kudus, isknews.com – PT Pertamina Patra Niaga kembali menjadi pusat perhatian nasional dan bulan-bulanan warganet menyusul dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Ron 90 (Pertalite) menjadi Ron 92 (Pertamax).
Kasus ini telah menyeret Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), memicu kekecewaan di kalangan pengguna BBM, khususnya Pertamax.
Di Kabupaten Kudus, beberapa konsumen menyatakan kekecewaannya. Santi, seorang pengguna Pertamax, merasa tertipu karena selama ini ia memilih BBM non-subsidi untuk merawat kendaraannya. “Sudah patuh aturan, sudah tidak pakai pertalite, tapi ujung-ujungnya dibohongi dengan kualitasnya,” ujar perempuan ibu rumah tangga warga Mlati Lor, Kudus.
Hal serupa diungkapkan oleh Mirza, pelajar SMA ini mengaku kesal, karena sejak motornya dia custom dan di bore up menjadi jenis balap, dia memutuskan untuk mengupgrade konsumsi bahan bakarnya dari Pertalite ke Pertamax.
“Sayang sudah habis dana banyak, mesin motor saya biar lebih kencang dan awet saya ganti dengan Pertamax biar larinya lebih ngacir. Namun ternyata kita tertipu, selama ini motor saya hanya berisi bensin Pertalite hanya saja belinya tanpa antre dan mereka menyebutnya Pertamax, sadis,” kata remaja warga Mlati Kidul ini satir.
Sama halnya dengan Nila, warga Bulungcangkring, Jekulo, Kudus lainnya, yang merasa sia-sia mengalokasikan dana lebih untuk membeli Pertamax jika ternyata bahan bakar tersebut adalah hasil oplosan.
“Motor termasuk baru, saya kemudian mebiasakan mengisi BBM dengan jenis Pertamax, biar mesinnya awet dan larinya lebih kencang. Ternyata sangat kecewa, merasa sangat ditipu, kalau begini saya jadi khawatir kalau BBM jenis lain juga hasil oplosan,” katanya.
Menanggapi isu yang beredar, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, membantah tuduhan pengoplosan BBM. Dalam keterangannya pada Selasa, 25 Februari 2025, Heppy menegaskan bahwa Pertamax dan Pertalite yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi dengan spesifikasi yang telah sesuai ketentuan pemerintah.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujar Heppy.
Ia juga menjelaskan bahwa proses yang dilakukan di terminal BBM adalah injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat, serta injeksi additive untuk meningkatkan performa produk Pertamax. “Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” tambahnya.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan distribusi BBM di Indonesia. Kejagung sendiri masih terus mendalami kasus ini untuk mengungkap apakah terdapat pelanggaran lain yang merugikan masyarakat luas.
Sementara itu, para pengguna BBM non-subsidi berharap agar pemerintah dan pihak terkait dapat segera memberikan kejelasan serta memastikan transparansi dalam distribusi bahan bakar minyak demi kepentingan konsumen di seluruh Indonesia. (YM/YM)