Kudus, Isknews.com – Dalam era digital saat ini, perhatian telah menjadi salah satu aset berharga yang diperdagangkan di media sosial, menciptakan fenomena yang dikenal sebagai attention economy atau ekonomi perhatian. Perkembangan ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
“ Ketika perhatian menjadi komoditas, media sosial berlomba-lomba untuk menarik perhatian pengguna sebanyak mungkin dan mempertahankannya selama mungkin. Dalam konteks pendidikan, komodifikasi atensi ini menimbulkan tantangan serius karena berdampak pada cara belajar siswa dan kualitas pendidikan itu sendiri. “ ungkap Melly Ferdia Tasmara, S,Sn, selaku penggarap pementasan teater berjudul Wabah yang digelar di MAN 1 Kudus dalam rangka Festival Teater Pelajar 2024 pada 02 November 2024 mendatang.
Dalam dunia pendidikan, keberhasilan belajar memerlukan fokus yang konsisten dan mendalam. Namun, media sosial dirancang untuk mengalihkan perhatian secara terus-menerus melalui notifikasi, konten visual yang menarik, dan mekanisme infinite scroll (guliran tanpa akhir) yang mendorong pengguna untuk tetap terlibat. Ketergantungan pada konten singkat dan instan, seperti video 15 detik atau gambar yang viral, mengganggu kemampuan siswa untuk fokus dalam jangka waktu lama, yang sangat penting dalam proses memahami konsep-konsep kompleks.
“ Ini menghambat perkembangan kemampuan berpikir kritis dan analitis yang membutuhkan waktu dan perhatian. “ tambahnya.
Media sosial mendorong pengguna untuk lebih fokus pada jumlah “like”, “share”, atau komentar sebagai indikator perhatian. Ketika hal ini diterapkan dalam pendidikan, baik siswa maupun guru mungkin lebih fokus pada popularitas dan daya tarik konten daripada substansi atau kedalaman informasi.
“ Hal ini berisiko membuat pendidikan terjebak dalam pola konsumsi informasi yang dangkal dan kurang analitis, yang dapat mengurangi kualitas pembelajaran. “ katanya.
Selain berdampak pada pola belajar, perhatian yang berorientasi pada media sosial juga mempengaruhi kesehatan mental siswa.
“ Fenomena fear of missing out (FOMO) dan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial membuat siswa merasa harus selalu terhubung dan aktif di media sosial. Kecenderungan ini bisa menyebabkan kecemasan, terutama jika ekspektasi terhadap pengakuan sosial tidak terpenuhi. “ tuturnya.
Data terbaru menunjukkan tren peningkatan penggunaan media sosial di kalangan pelajar Indonesia. Menurut laporan dari We Are Social dan Hootsuite, pada awal 2023, Indonesia memiliki sekitar 191 juta pengguna media sosial aktif, dengan mayoritas pengguna berusia 16-24 tahun, yaitu rentang usia yang mencakup sebagian besar pelajar dan mahasiswa.
Data ini mengindikasikan bahwa media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka, yang dapat berkontribusi pada perubahan cara belajar serta kesehatan mental. Lebih dari 50% pelajar Indonesia melaporkan menghabiskan waktu lebih dari 3 jam per hari di media sosial, angka yang meningkat tajam dibandingkan lima tahun lalu.
“ Tren ini mencerminkan bagaimana media sosial telah menjadi platform utama bagi siswa untuk mendapatkan informasi, bersosialisasi, dan bahkan mencari hiburan, namun sekaligus juga menjadi potensi distraksi. “ ujarnya.
Terlepas dari dampak negatifnya, penggunaan media sosial dalam pendidikan sebenarnya dapat dimanfaatkan secara positif jika dikelola dengan bijak. Platform pembelajaran digital, video edukatif, atau konten berbasis microlearning dapat menarik perhatian siswa dengan format yang mirip dengan media sosial namun tetap mengutamakan kualitas materi. Pendekatan ini dapat membantu menciptakan pembelajaran yang lebih menarik tanpa mengorbankan kedalaman dan fokus belajar.
Komodifikasi atensi di media sosial membawa tantangan besar dalam pendidikan. Ketika perhatian siswa terpecah antara belajar dan hiburan media sosial, pendidikan menjadi semakin sulit untuk bersaing dalam mempertahankan fokus siswa. Untuk menghadapi fenomena ini, perlu adanya literasi edukatif yang kuat, baik bagi siswa maupun pengajar, agar kita semua tidak hanya menjadi sasaran tembak dalam pasar global yang menggunakan plaftorm media sosial minimal pada pada pola pikir dan kesehatan mental kita. Pendekatan yang seimbang dalam penggunaan media sosial untuk pembelajaran serta peningkatan literasi dari digital maupun konvensional dapat menjadi solusi untuk menghadapi tantangan ini.
“ Hal ini penting agar pendidikan tetap relevan dan efektif di tengah dominasi media sosial yang teah menjadi gaya hidup yang masif dalam kehidupan sehari-hari generasi muda Indonesia. “ katanya.
Ditengah maraknya arus tersebut, perlu kiranya kita kembali ke dalam diri kita senagai manusia sosial yang aktif dalam berinteraksi secara nyata. Melalui kesenian teater, di mana siswa tidak hanya menjadi konsumen konten pasif, tetapi juga partisipan aktif yang terlibat secara emosional, intelektual, dan sosial. Seni teater, dengan daya tariknya yang khas, memiliki potensi untuk mengatasi tantangan komodifikasi atensi ini dalam pendidikan. Seni teater melibatkan proses yang menuntut fokus penuh dari semua pihak yang terlibat, baik aktor maupun penonton. Berbeda dengan media sosial yang memecah perhatian dengan konten singkat dan mudah dicerna, teater menghadirkan cerita yang memerlukan pemahaman yang lebih mendalam dan terus berlanjut.
“ Ketika siswa berpartisipasi dalam pementasan teater, mereka belajar untuk memusatkan perhatian mereka pada peran dan cerita, yang pada gilirannya melatih mereka untuk mempertahankan fokus dalam jangka waktu yang lebih lama. Ini membantu siswa mengembangkan keterampilan konsentrasi yang dapat diterapkan dalam proses belajar lainnya. “ tutupnya.