Tradisi Buntut-Buntut Lawe atau Pak Punjen ialah tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa, pada saat pernikahan anak bungsu (terakhir), laki-laki maupun perempuan. Hingga sekarang, tradisi ini tetap dilaksanakan, terutama di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Mengapa dilaksanakan tradisi tersebut? Dalam adat kebiasaan masyarakat Jawa yang memiliki sikap hati-hati serta waspada, terimplementasi dalam salah satu tradisi masyarakat Jawa yakni Buntut-Buntut Lawe atau Pak Punjen. Tradisi ini memberi sugesti agar nantinya dalam mengarungi kehidupan senantiasa terhindar dari mara bahaya dan kesulitan.
Adapun kelengkapan bahan untuk tradisi Pak Punjen adalah sebagai berikut :
- Beras kuning, yang memiliki arti agar sang pengantin baru maupun keluarga lainnya mudah dalam mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Warna kuning sendiri melambangkan kemakmuran.
- Uang berarti dalam mencari nafkah mendapatkan rezeki yang melimpah dan barokah.
- Emas (dapat berupa uang atau cincin), yang bermakna setelah mencari nafkah apabila mendapat hasil yang lebih dapat ditabung dalam bentuk perhiasan yang dipakai para ibu. Dalam jangka lama, apabila dibutuhkan perhiasan tersebut dapat digunakan.
- Kantong memiliki arti filosofi bahwa rezeki yang dihasilkan atau harta benda yang dimiliki disimpan ke dalam satu tempat yang aman. Sehingga, apabila ada kebutuhan dapat diambil sedikit demi sedikit sesuai keperluannya dan tidak boros (memanage pengeluaran dan pemasukan dalam rumah tangga).
- Ayam kampung, nasi, dan lauk pauk berarti doa untuk menangkal mara bahaya dengan wujud syukur dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
Nah, dalam pelaksanaan tradisi tersebut, terdapat prosesi menyuapi makanan yang dilakukan oleh ibu kepada seluruh putera-puterinya berurutan mulai dari yang pertama. Hal ini bertujuan untuk mempererat rasa kekeluargaan yang ada. sehingga, meskipun masing-masing telah berkeluarga namun tetap disatukan dalam satu keluarga besar yang rukun.
Lalu, posisi ibu yang berada di depan berarti mendidik dan mengarahkan anak-anak, sedangkan posisi bapak yang berada di belakang sembari membawa cambuk (pecut) berarti mengingatkan atau meluruskan secara tegas apabila terjadi kesalahan atau perselisihan di dalam keluarga.
Reportase bersama : K. M. Sahli, tokoh agama desa Jepangpakis RT 5 RW 6
mei