Kudus, isknews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kudus mencatat inflasi sebesar 1,29 persen pada bulan Maret 2025. Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya harga sejumlah komoditas, terutama kebutuhan pokok dan tarif listrik, seiring dengan tingginya permintaan selama bulan Ramadhan.
Kepala BPS Kudus, Eko Suharto, menjelaskan bahwa kelompok pengeluaran “Perumahan, Air, Listrik, dan Bahan Bakar Rumah Tangga” memberikan sumbangsih terbesar terhadap inflasi bulan Maret, yaitu sebesar 0,63 persen.
“Tarif listrik sendiri menjadi penyumbang tertinggi dengan andil sebesar 0,62 persen,” ujar Eko saat menyampaikan Berita Resmi Statistik pada Selasa, 9 April 2025.
Selain tarif listrik, inflasi juga dipicu oleh komoditas pangan yang mengalami lonjakan harga. Bawang merah menyumbang 0,22 persen terhadap inflasi, disusul emas perhiasan (0,06 persen), telur ayam ras (0,03 persen), dan udang basah.
Menurut Eko, tren kenaikan harga ini merupakan hal yang lazim terjadi menjelang dan selama Ramadhan, karena lonjakan konsumsi masyarakat.
“Permintaan yang tinggi untuk konsumsi rumah tangga selama Ramadhan menjadi faktor dominan naiknya sejumlah harga,” tambahnya.
Sementara itu, jika dilihat secara tahunan (year-on-year), Kudus mencatat inflasi sebesar 0,77 persen. Kelompok “Makanan, Minuman, dan Tembakau” menjadi penyumbang utama dengan andil 0,61 persen, diikuti oleh kelompok “Perawatan Pribadi dan Jasa Lainnya” yang menyumbang 0,36 persen.
Meski sejumlah komoditas memicu inflasi, beberapa justru memberikan andil deflasi, terutama secara tahunan. Komoditas tersebut meliputi beras, tarif listrik, daging ayam ras, telur ayam ras, dan tomat.
Di sisi lain, sektor pariwisata juga menunjukkan pergerakan positif. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di Kudus naik dari 42,15 persen pada Januari menjadi 42,97 persen di Februari 2025. Hotel non-bintang juga mencatat peningkatan TPK dari 25,48 persen menjadi 25,87 persen pada periode yang sama.
Rata-rata lama menginap (RLM) di hotel berbintang tercatat 1,09 hari pada Januari dan sedikit menurun menjadi 1,02 hari di Februari, sementara RLM hotel non-bintang stabil di angka 1,03 hari.
“Angka-angka ini penting untuk jadi bahan evaluasi bersama agar arah kebijakan ekonomi dan pembangunan daerah bisa lebih tepat sasaran,” tutup Eko. (AS/YM)