Kudus, isknews.com – Meski tak memiliki lahan kebun kopi, Jetak adalah sebuah kawasan disebelah barat Kabupaten Kudus yang dikenal dengan produsen kopi seduhan khasnya yakni Kopi Jetak. Nama sebuah dusun di Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus itu kini dikenal banyak terdapat warung-warung kopi yang dikenal memiliki cita rasa khas dengan kopi-kopi pabrikan.
Untuk terus mempopulerkan dan melestarikan keberadaan kopi jetak bagi warga Kudus dan sekitarnya, Remaja Masjid Darussalam, untuk ketiga kalinya mengadakan Sekotak (Sedekah Kopi Jetak) 2023 Syubban x Paris Putri yang juga diisi tentang sarasehan kopi jetak serta festival kopi, dimana pada malam itu sejumlah 14 warung kopi besar di kawasan tersebut menyediakan kopi gratis bagi pengunjung kegiatan malam itu, Sabtu (15/10/2023).
Tampak hadir dan sekaligus pembawa materi dalam sarasehan malam itu, Ketua Komite Ekonomi Kreatif (KEK) Kudus, Valerie Yudistira yang juga owner dari sebuah coffee shop besar di Kudus.
Ditemui di lokasi sarasehan yang berada di halaman masjid Darussalam, Ali Ihsan anggota DPRD Kudus yang juga warga setempat mengatakan, event Sekotak ini dilaksanakan setiap momen maulid nabi, melalui kegiatan ngaji dan ngopi bersama ini, ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
“Ini sudah yang ketiga kali digelar, kami kenalkan budaya kopi jetak itu sudah ada sejak jaman pak Sukarno, jadi warga berangkat dan pulang kerja pasti mampir di Jetak untuk meminum kopi disini,” ujar Ali Ihsan.
Menurut Ali, Kopi Jetak memiliki cita rasa yang sangat khas. Cara penyeduhannya pun unik, yakni dengan memasak bubuk kopi di atas tungku kayu bakar kemudian bubuk kopi tersebut ditambah air. Cara tradisional inilah yang membuat kopi Jetak memiliki aroma yang nikmat.
“Perbedaan kopi jetak dengan kopi yang lain terletak pada kelembutan dan kehalusan bubuk kopi dalam proses penggilingan. Biasanya bagi perokok akan sangat menyukainya karena ampas dari kopi ini bisa dioleskan atau ‘dileletkan’ dengan halus dibatang rokok yang mereka hisap,” ujarnya.
Hasil leletan kopi ini menempel kuat di kertas rokok, itu kata dia tak seperti bubuk kopi pabrikan yang teksturnya lebih kasar.
“Tentu saja bagi perokok ini menambah aroma dan citarasa yang sedap,” kata dia.
Dijelaskannya, warga di Jetak masih menjual kopi jetak secara tradisional, kita hadirkan narasumber agar mereka dapat meningkatkan serta mempromosikan sesuai dengan syariat islam, serta dari sisi adat istiadat budayanya,” paparnya.
“Semua masyarakat baik muda dan tua semua menikmati kopi, itu sangat unik sekali, dengan ini mereka bisa membangkitkan roda ekonomi dengan lancar karena di Jetak ini warung-warung penjual selalu ramai,” katanya.
Pihaknya berharap kepada penjual maupun pembuat kopi Jetak dapat meningkatkan penjualannya dan mengenalkan lebih luas Kopi Jetak karena 30 persen masyarakat disini adalah pembuat kopi.
Sementara itu, Salah seorang penjual kopi dari generasi kedua Kopi Jetak Pak Sumiono, Rofiq menjelaskan, ia mengambil biji kopi langsung dari lereng gunung Muria dan Japan.
“Yang membuat beda dengan kopi yang lain ialah cara membuat / roastingnya masih manual menggunakan Paso (Wajan Tanah), Dalam sebulan dapat membuat 50 kiloan kopi baik dalam bentuk green/mentah, rosting maupun bubuk,” tandasnya.
Seorang tetua warga yang hadir di acara Sekotak tersebut menyebut bahwa kopi jetak telah ada sejak tahun 1950 an, seraya menyebutkan nama-nama tokoh pendiri pertama warung kopi di Dusun tersebut dengan menyebut nama-nama penerusnya dan kisaran tahun mereka berdagang kopi khas Desa Kedungdowo tersebut. (YM/YM)