Kisah Mbah Ronggo Sebagai Cikal Bakal dan Pendiri Desa Megawon

oleh -6,447 kali dibaca
Makam Mbah Ronggo, di Dukuh Krajan, Desa Megawon (Foto : Darmanto Nugroho/ISKNEWS.COM).

Kudus, ISKNEWS.COM – Megawon berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu mega dan won. “Mega” berarti sesuatu yang sangat agung, sesuatu yang memiliki nilai tinggi, dan sesuatu yang memiliki makna megah. Sedangkan kata “won” berfungsi untuk memperhalus bahasa.

Sehingga istilah Megawon dapat diartikan sebagai suatu daerah yang memiliki makna tinggi dan sangat megah serta agung, yaitu suatu perdikan yang memiliki makna tinggi, memberikan kemajuan dan pengharapan hidup, memberikan keberkahan, serta memberikan kesejukan kepada penduduk yang mendiaminya.

Menurut Kepala Desa Megawon, Nurasag, asal usul Desa Megawon, tidak terlepas dari nama seorang tokoh bernama Mbah Ronggo, yang diyakini sebagai cikal bakal pendiri perdikan Megawon. Mbah Ronggo inilah yang pertama kali memakai istilah Megawon. Mbah Ronggo pertama kali menginjakkan kakinya di Megawon, pada sekitar tahun 1543 Masehi.

Kantor Kepala Desa Megawon (Foto : istimewa/ ISKNEWS.COM).

Berdasarkan cerita leluhur masyarakat Desa Megawon, konon Mbah Ronggo adalah seorang santri yang juga prajurit Kesultanan Demak Bintoro. Saat Syech Ja’far Sodiq melakukan dakwah syiar Islam di Kudus, Mbah Ronggo ikut dalam rombongan para santri Sunan Kudus itu.

Kedatangan Syech Ja’far Shodiq ke Kudus, memang membawa serta beberapa prajurit dan sejumlah santri. Setelah tingal di Kudus Kulon, Syech Ja’far Shodiq menugaskan para prajurit dan santrinya untuk menyebar dan menetap di perkampungan yang sudah ramai penduduknya. Salah satunya adalah Mbah Ronggo yang diutus ke Desa Megawon, untuk berdakwah dan memimpin warga masyarakat desa setempat. Mbah Ronggo bahkan kemudian menetap di desa tersebut, tepatnya Dukuh Krajan, hingga akhir hayatnya.

Penugasan para santri oleh Sunan Kudus itu, selain untuk mempercepat penyebaran agama Islam, melalui pendekatan kepada masyarakat, juga untuk mengawasi hubungan antara masyarakat Hindu dan Budha yang sudah lama tinggal di Megawon dengan masyarakat muslim, sebagai warga baru I desa tersebut, khususnya di Dukuh Krajan.

Mbah Ronggo menjadi pemimpin agama dan pemerintahan pertama di Megawon sampai ia meninggal dunia. Perdikan Megawon menjadi salah satu desa yang berada di bawah pemerintahan Sunan Kudus, pada masa beliau berkuasa di Kudus, antara tahun 1543-1555.

Sepeninggalnya Mbah Ronggo, setelah puluhan tahun kemudian, di Megawon muncul dua tokoh suami-istri yang namanya cukup terkenal, Mbah Muhammad Ragil dan Siti Mursiyah, yang oleh masyarakat Desa Megawon dikenal dengan sebutan Mbah Makam. Kedua tokoh ini berdakwah dan menjadi pemimpin di Desa Megawon, pada sekitar abad ke-17 Masehi.

Sepeninggal kedua tokoh ini, sekitar abad ke-18, di Megawon muncul tiga orang tokoh yang cukup terkenal, yaitu Mbah Gusti Gunungjati dari Dukuh Bogol, Mbah Sa’dullah dari Dopang, dan Mbah Sireng dari Dukuh Wungu.

Konon menurut cerita masyarakat Megawon, Mbah Gunungjati selain sebagai pemimpin masyarakat juga seorang ulama yang sangat dalam ilmu agamanya. Bahkan sebagian masyarakat ada yang meyakini ia termasuk seorang wali Allah dan pengaruhnya cukup luas di Kudus.
Sepeninggal Mbah Gunungjati, posisinya diganti oleh Mbah Buyut Lowo, namun pengaruhnya hanya terbatas disekitar Dukuh Bogol. Demikian juga kedua tokoh berikutnya, Mbah Sadu dan Mbah Sireng, merupakan tokoh agama dan pemimpin lokal di Desa Megawon. (DM/RM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :