Kisah Tentang Tanah Norowito

oleh -4,824 kali dibaca
Foto: Kantor BPN Kudus, Sabtu (12-05-2018). (Nila Niswatul Chusna/ISKNEWS.COM)

Kudus, ISKNEWS.COM – Pada zaman dahulu tepatnya pada era penjajahan Belanda, dalam bidang pertanahan atau agraria dikenal istilah tanah norowito atau norowito matok. Tanah norowito atau norowito matok adalah tanah milik bersama yang dikelola dan hasilnya untuk orang banyak.

Menurut keterangan Kasie Hubungan Hukum Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kudus, Witarso, tanah norowito masuk kedalam tanah adat yang berupa persawahan. Tanah pertanian ini kemudian dikerjakan atau dikelola secara bersama, dimana setiap warga desa memperoleh bagian untuk menggarap, baik secara bergilir maupun secara tetap dengan syarat-syarat tertentu.

Diungkapkannya, hampir setiap desa di Indonesia, terdapat tanah norowito. Namun tanah tersebut, saat ini banyak yang telah beralih atau dikonversi menjadi hak milik sebagai mana Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yakni UU No 5 tahun 1960.

“Sejak diterbitkanya UUPA tanah norowito harus dikonversi menjadi hak milik. Pada waktu itu, pemerintah memberi jangka waktu bagi pemilik tanah untuk melakukan perubahan status tanah hingga tahun 1980. Hanya saja, sampai saat ini masih ada beberapa tanah yang belum dikonversikan,” kata Witarso, Jumat (11-05-2018).

Witarso menjelaskan, istilah yang digunakan untuk penyebutan tanah ini berbeda-beda di setiap daerah. Tak hanya istilah, cara pembagian dan pola pengerjaan tanah norowito juga berbeda di setiap daerahnya.

“Untuk sistem pambagian tanah norowito ada yang menggunakan sistem pembagian, dimana luas tanah norowito dibagi jumlah kartu keluarga. Sehingga setiap kepala keluarga memiliki hak yang sama atas tanah tersebut. Dan luas sempitnya tanah norowito yang diperoleh berdasarkan banyak sedikitnya jumlah keluarga di daerah tersebut. Semakin sedikit jumlah keluarga, maka semakin luas tanah norowito yang didapat,” ungkap Masrikan, Kesra Desa Kesambi, Jumat (04-5-2018).

Untuk daerah di luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Papua. Ada yang menggunakan suara sebagai alat pembagian tanah norowito. Dimana seseorang akan berteriak sekeras mungkin, jika masih terdengar suaranya maka tanah tersebut masuk kedalam wilayahnya. Masrikan mengatakan di luar Jawa, tanahnya masih membentang luas dengan jumlah penduduk yang sedikit.

Kepada isknews.com, Masrikan menceritakan sejarah tanah norowito yang ada di Desa Kesambi. Ia menuturkan tanah norowito di daerahnya dibagikan secara rata kepada seluruh warga. Tanah itu kemudian digarap secara tetap oleh setiap kepala keluarga.

“Di sini, tanah norowito dapat diwariskan kepada anaknya atau keturunannya. Dengan ketentuan, dalam keluarga tersebut harus memiliki keturunan laki-laki. Jika keluarga tersebut tidak memiliki keturunan laki-laki, maka tanah tersebut haknya akan kembali kepada Desa,” jelasnya.

Dilanjutkannya, “Dari pihak Desa, tanah tersebut nantinya akan diberikan pada orang yang baru menikah dan memiliki anak laki-laki. Kepada pemilik baru inilah, tanah tersebut akan digunakan. Mengapa tanah tersebut diberikan kepada anak laki-laki? Karena anak laki-laki merupakan kepala kelurga atau pencari nafkah keluarga dan dianggap mampu mengelola sawah.”

Diakui Witarso, jika hal semacam ini merupakan bagian dari hukum adat dari masing-masing daerah. Dengan adanya UUPA dan konversi tanah norowito menjadi tanah hak milik, kini warga dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut secara penuh dan seluas-luasnya.

Saat ditanya mengenai istilah norowito, apakah memiliki hubungan dengan Desa Mlatinorowito, Kudus? Witarso mengaku tidak mengetahui hal tersebut secara jelas. Menurutnya, istilah pertanahan ini sudah ada sejak zaman pejajahan Belanda dan sudah melekat pada masyarakat Jawa Tengah waktu itu.

“Saya rasa istilah tanah norowito tidak ada kaitannya dengan keberadaan Desa Mlatinorowito. Ini hanya istilah yang digunakan masyarakat pada zaman tersebut untuk menggambarkan tanah bersama atau tanah komunal yang kelola dan digunakan secara bersama-sama,” pungkas Witarso. (NNC/WH)

KOMENTAR SEDULUR ISK :