Kudus, isknews.com – Ada yang menarik pada prosesi ngunduh mantu pernikahan antara Brigadir Polisi Satu Rudianto atau yang karib disapa Ahong dengan Ruwaida Hikmah di Dukuh Jambean Purworejo Bae Kudus, pada hari Minggu (18/08/2019) kemarin.
Disaat langkanya minat masyarakat Kudus terhadap pakaian pengantin adat Kudus dan upacara ritual pernikahan adat kudus menurun, bahkan banyak yang telah meninggalkan tradisi tersebut dan lebih memilih pada tradisi yang dianggap lebih modern dan praktis, keduanya melangsungkan pernikahan dengan prosesei adat Kudus termasuk busana dan ritualnya.
Meski tak ada lagi kereta kuda atau dokar khas Kudus yang berjajar membawa rombongan tamu mempelai seperti adat pengantin Kudus jaman dahulu dan kini tergantikan dengan mobil mewah sebagai tunggangan pengantin, akibat langkanya dokar khas Kudus, namun suasana membangkitkan kembali adat yang lama ditinggalkan itu tetap terasa.
Menurut Darus Achroni, manager wedding organizer yang menjadi pelaksana penyelenggaraan resepse siang itu, Keluarga Ahong sengaja memilih menggunakan Ritual dan pakaian adat Kudus, selain untuk nguri-uri budaya juga sekaligus menyemarakkan HUT Kemerdekaan RI ke 74,” ujar dia kepada awak media.
“Sejak tahun 1973 pakaian pengantin adat Kudus sudah jarang yang memakai, bukan semata alasan kepraktisan yang membuat pakaian pengantin adat Kudus menjadi kian menghilang dan tak dikenal masyarakatnya sendiri, akan tetapi faktor utama justru karena tidak adanya kebanggaan masyarakat Kudus dengan pakaian pernikahan adatnya, untuk itulah keluarga mas Ahong dan mbak Ruwaida mencoba mengangkatnya kembali,” tambahnya.
Dalam prosesi tersebut pengantin wanita mengenakan Caping kali pada bagian kepala, Baju kurung beludru, Jarik atau sinjang laseman, selendang Tohwatu dan aksesoris kepala dan leher yaitu menggunakan sanggul besar dengan cunduk mentul berjumlah lima atau tida buah, suweng beras kecer atau suweng babon angkrem, kalung sangsang sobyong berjuntai 5 atau berjuntai 9 yang menghiasa hingga sampai dada, kancing peniti dari mata uang: ece, ukon, rupih atau ringgit, gelang lungwi, dan juga cincin sigar penjalin
Sementara pengantin pria mengenakan blangkon gaya Surakarta dengan beskap Kudusan, jarik Laseman, selop alas kaki’Ikat pinggang atau timang serta keris motif Gayaman atau Ladrangan
Kita sebagai warga timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan, adab, dan keluhuran sudah seharusnya bangga memiliki pakaian adat Kudus, sebagai hasil dari akulturasi peradaban yang unik.
“Dengan potensi yang besar tersebut, untuk merealisasikannya seluruh lapisan masyarakat harus benar-benar bertindak pro-aktif terhadap eksistensi budayanya.
Agar upaya pelestarian budaya berjalan secara efektif, kita harus melakukan sesuatu agar pakaian adat ini terlupakan dan hanya menjadi kenangan.
“Sejumlah pengamatan menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat peduli dengan eksistensi kearifan lokal yang satu ini. Akan tetapi, masih sebatas keinginan sehingga untuk mewujudkannya pun membutuhkan usaha lebih dari sekedar angan, untuk iulah Mas Ahong dan mbak Ruwaida mencoba memulainya kembali,” tandas Darus. (YM/YM)