Semarang – “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan ku cabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda maka akan ku guncang dunia.“ Kalimat ikonik dari pidato Ir Soekarno berkumandang saat upacara Hari Sumpah Pemuda di lapangan Makodam IV/Diponegoro Jalan Watu Gong, Rabu (28/10).
Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP yang bertindak selaku inspektur upacara pada pagi itu sengaja mengutip kalimat dari presiden pertama Indonesia dengan maksud mengajak generasi saat ini lebih bersemangat melakukan tindakan nyata di masyarakat.
Dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-87 yang kali ini mengambil tema Revolusi Mental Untuk Kebangkitan Pemuda Menuju Aksi “Satu Untuk Bumi”, Ganjar dengan tegas meminta para pemuda untuk menyingsingkan lengan baju dan turun untuk terlibat dalam menyelesaikan berbagai masalah.
“Jangan kemudian pemuda malah ikut “bancakan”, pemuda ikut ngerusak, pemuda bisanya cuma bicara. Pemuda harus memulai apa yang bisa diberikan atau disumbangkan, daripada kita saling menyalahkan mending kita ikut terlibat memberi solusi,” katanya.
Dirinya mencontohkan, kontribusi nyata bisa diwujudkan dengan memberikan bantuan saat terjadi masalah di tengah masyarakat. Seperti pada kemarau sekarang ini, generasi muda bisa membantu mencari air dan ketika terjadi kebakaran gunung bisa membantu mencarikan solusi.
“Bagaimana menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa? Ayo kita ikut terlibat. Mari ajak seluruh komponen untuk memberikan yang terbaik. Karena hari ini yang bisa melakukan perubahan besar adalah para pemuda, hanya pemuda yang bisa bangkit membawa perubahan,” katanya.
Selain itu, Ganjar juga mewanti-wanti agar para pemuda waspada dan mampu menyikapi fenomena baru tentang berubahnya pola relasi kemasyarakatan akibat arus modernitas dan kemajuan teknologi informasi. Pesatnya perkembangan teknologi informasi ibarat pisau bermata dua. Satu sisi memberikan jaminan kecepatan informasi sehingga memungkinkan para pemuda meningkatkan kapasitas pengetahuan dan skill. Sementara di sisi lain, bisa membawa dampak negatif yang melahirkan generasi baru dengan pola pikir serba cepat, serba instan, lintas batas, cenderung individualistik dan pragmatik.
Sosial media, lanjutnya, telah menjelma menjadi tempat favorit berkumpulnya anak-anak muda lintas negara, lintas budaya, dan lintas agama. Interaksi mereka di sosial media berjalan real time 24 jam. Tidak mudah bagi orang tua, guru, lembaga pendidikan termasuk negara untuk dapat mengontrolnya.
“Di sinilah gerakan revolusi mental menemukan relevansinya. Dengan pembangunan karakter kita bisa kuat, tangguh dan kokoh dalam menghadapi dampak negatif modernisasi dan globalisasi. Ke depannya kita berharap lahir generasi muda Indonesia yang tangguh, berkarakter, mandiri dan rela berjuang untuk kepentingan bangsa dan negaranya,“ katanya.