Kudus, isknews.com – Ratusan warga dari berbagai kelompok dan mushola memadati halaman Masjid Jami’ Agung Madaran, Desa Mijen, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Senin (7/4/2025) pagi.
Mereka membawa ketupat, sayur, dan lepet dari rumah untuk dimakan bersama usai doa dan tahlil berjamaah dalam rangka tradisi Syawalan dan Kupatan.
Ketua Takmir Masjid Jami’ Agung Madaran, Anshori, menyampaikan bahwa tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun sejak dulu.
Bahkan menurutnya, ketika masjid ini masih dalam bentuk bangunan lama, warga tetap rutin mengadakan tradisi Kupatan.
“Tradisi ini konon merupakan peninggalan Sunan Kalijaga. Kata ‘kupat’ berasal dari ‘ngaku lepat’ atau pengakuan kesalahan, sedangkan ‘lepet’ artinya kesalahan orang lain yang harus disimpan rapat-rapat dan tidak disebarluaskan,” jelas Ansori.
Ia juga memaparkan filosofi mendalam dari bentuk ketupat yang berbentuk segi empat. Bentuk tersebut melambangkan empat jenis nafsu dalam diri manusia: nafsu amarah, lawwamah, sufiyah, dan mutmainnah.
Menurutnya, keempat nafsu itu harus ditekan dan dilatih selama bulan Ramadan sebagai bentuk pengendalian diri.
“Setelah Ramadan, saat momen Kupatan ini, manusia diharapkan mengakui kesalahan—baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Inilah makna spiritual dari perayaan ini,” tambahnya.
Ansori menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan tradisi Kupatan ini, warga membawa makanan dari rumah masing-masing. Sebagian makanan dikumpulkan dan dibagi rata kepada semua yang hadir, termasuk anak-anak sekitar yang ikut menyemarakkan acara.
“Ini akan terus kami lestarikan. Tradisi ini membawa nilai sosial dan spiritual yang luar biasa. Warga bisa berkumpul, saling mendoakan, dan mempererat kekompakan,” ujarnya.
Seluruh rangkaian acara dimulai dengan istighosah, dilanjutkan dengan tahlil bersama,q lalu diakhiri dengan makan bersama sebagai simbol kebersamaan dan syukur.
Warga yang hadirq berasal dari seluruh jamaah Masjid Jami’ Agung Madaran yang mencakup lima mushola di wilayah Madaran, dari utara hingga selatan.
“Alhamdulillah, semua blok hadir dan antusiasq mengikuti acara ini,” tutur Ansori.
Sementara itu, Salim (50), warga RT 4 RW 1q Desa Mijen, menyambut gembira tradisi tahunan ini. Ia berharap tradisi ini terus diuri-uri agar tidakq hilang ditelan zaman.
“Kalau tidak dijaga, nanti bisa punah. Anak-anak sekarang banyak yangq tidak bisa bikin bungkus kupat. Kalau tidak dilatih, nanti tidak ada lagi yang tahu cara membuatnya,” ucap Salim.(YM/YM)