Semarang – Melibatkan masyarakat miskin dalam proyek padat karya menjadi salah satu solusi pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk membantu masyarakat miskin dalam memperoleh penghasilan. Upaya itu diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan di Jawa Tengah yang angkanya masih mencapai lebih dari 4,5 juta jiwa.
“Biasanya keluarga miskin itu pendidikannya rendah, pengetahuannya rendah, pekerjaan tidak tetap, penghasilan rendah, daya beli rendah, akses terhadap informasi dan pelayanan juga rendah. Sehingga, kemampuan untuk mencukupi kebutuhan primer pun tidak bisa terpenuhi. Jika dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur dari dana desa, saya kira ini solusi. Mereka bisa bekerja dan punya penghasilan,” tutur Wakil Gubernur Jawa Tengah Drs H Heru Sudjatmoko MSi dalam dialog interaktif bertema Percepat Penurunan Angka Kemiskinan Jateng di Studio Mini Kantor Gubernur, Rabu (7/10).
Memberikan lapangan kerja bagi keluarga miskin, lanjutnya, sekaligus akan mengedukasi anak-anak dari keluarga miskin bahwa kepala keluarganya mendapat penghasilan dari bekerja. Bukan sekadar dari mendapat bantuan. Untuk anak-anak keluarga miskin, didorong untuk berpendidikan minimal SMK. Sehingga, akan mengurangi keluarga miskin yang bekerja di sektor informal. Selain itu, Heru menandaskan, komitmen, kepedulian dan keberpihakan dari seluruh pemangku kepentingan sangat penting untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah Muhammad Zein menuturkan kebijakan apapun yang dibuat pemerintah sudah seharusnya didorong untuk mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Dia menunjuk contoh di bidang pendidikan, pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah lima tahun terakhir mencanangkan menjadi provinsi vokasi. Melalui pencanangan tersebut, lulusan SMK dititikberatkan mampu mengurangi kemiskinan dan bekerja di sektor formal.
“Angka pekerja yang masih di sektor informal di Jateng masih tinggi, mencapai 62 persen. Artinya, informal ini sangat rentan dengan situasi dan keadaan ekonomi yang saat ini selalu berubah. Rupiah terpuruk, ekonomi global, bencana,” terangnya.
Dampak bencana saja, seperti di Pati, tambahnya, masih sangat terasa hingga sekarang karena kerugiannya mencapai Rp 1,9 triliun atau setara APBD kabupaten setempat selama dua tahun. Dari angka kerugian itu, maka bisa dibayangkan kondisi masyarakat di kabupaten Pati. Karenanya, eksekutif dan legislatif di Jawa Tengah senantiasa memegang prinsip akan mengarahkan kebijakan anggaran berapapun bersama seluruh kekuatan para pemangku kepentingan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Unika Soegijapranata Semarang Shandy Jannifer Matitaputty SE MSi berpendapat upaya pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk melibatkan masyarakat miskin dalam membangun infrastruktur menggunakan dana desa masih setengah jalan. Pemerintah tetap harus memberi pendampingan agar ‘tidak menjadi kail tanpa mengajarkan memancing’.
“Orang miskin itu, selain dia tidak punya pendapatan yang cukup untuk membeli raskin, dia juga tidak punya keberdayaan untuk bekerja. Sehingga, pembangunan infrastruktur tanpa pendampingan itu menjadi hal yang seperti memberikan kail tapi tidak pernah mengajarkan cara memancing. Kalau seperti itu, bantuan akan dibuat mainan oleh orang miskin atau itu terjadi karena disebabkan faktor dia tidak tahu untuk apa. Dia jual lagi,” terangnya.
Padahal, lanjutnya, ‘kail’ itu diharapkan bisa menjadi solusi jangka panjang agar keluarga miskin memperoleh penghasilan sendiri. Mengenai pendampingan, Shandy berpendapat butuh waktu yang lama antara tiga hingga empat tahun dengan cara menarik akar budaya mereka.
“Akar budaya tidak dihilangkan, tapi didekati secara personal, kemudian membuat mereka merasa aman. Karena orang miskin itu biasanya hidup secara komunitas, maka dientaskannya juga secara komunitas. Pendampingan secara komunitas itu sebenarnya dalam tanda kutip seperti mengajarkan memancing. Mulai dari penyediaan infrastruktur sampai dengan infrastruktur ini untuk apa dan akhirnya mereka kelola sendiri infrastruktur itu,” paparnya. (HJ)