Kudus, isknews.com – Kasus Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Kudus masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah, dengan 1.986 kasus tercatat hingga saat ini dari target penemuan 2.648 kasus. Menariknya, keberhasilan upaya pengendalian TBC di Kudus tak hanya bergantung pada intervensi kesehatan, tetapi juga pada dukungan berbagai pihak lintas sektor.
Kepala Dinas Kesehatan Kudus, Andini Aridewi, mengungkapkan bahwa kolaborasi dengan instansi seperti Rumah Tahanan (Rutan), perusahaan, dan pondok pesantren telah memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan deteksi dini TBC melalui skrining rutin. “Partisipasi aktif dari sektor-sektor yang berisiko ini sangat membantu dalam mendeteksi kasus lebih awal, sehingga penyebaran dapat dikendalikan,” ujarnya.
Selain itu, dukungan dari perusahaan swasta juga menjadi faktor penting dalam proses pengobatan pasien. Beberapa perusahaan memberikan izin khusus bagi karyawan yang sedang menjalani pengobatan TBC, sehingga mereka dapat fokus pada pemulihan tanpa mengkhawatirkan pekerjaan. “Ini langkah yang patut diapresiasi, karena memperlihatkan kepedulian terhadap kesehatan karyawan,” tambah Andini.
Tak hanya itu, peran organisasi sosial seperti Baznas dan Lazizmu turut membantu dalam memberikan bantuan makanan bergizi bagi pasien TBC. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pemulihan dan memastikan pasien mendapatkan asupan nutrisi yang memadai selama masa pengobatan. “Kerja sama dengan lembaga-lembaga ini memperkuat upaya kita dalam menekan angka kasus TBC,” jelasnya.
Di sisi lain, ketersediaan fasilitas deteksi dini melalui teknologi TCM (Tes Cepat Molekuler) di tujuh titik, termasuk RSUD Loekmono Hadi dan beberapa puskesmas, memudahkan masyarakat dalam mengakses pemeriksaan TBC. Pemerintah Kabupaten Kudus juga menerapkan pendekatan “aktif case finding” untuk menemukan kasus lebih dini, terutama pada kelompok rentan seperti keluarga pasien dan lingkungan kerja.
Andini menekankan pentingnya pendampingan pasien dalam menjalani pengobatan yang memakan waktu hingga enam bulan. Hal ini dilakukan untuk mencegah pasien berhenti di tengah jalan, mengingat lamanya proses pengobatan yang seringkali membuat pasien bosan. “Pendampingan oleh satgas kesehatan sangat penting agar pasien bisa menyelesaikan pengobatan dengan tuntas,” katanya.
Dengan banyaknya pasien yang berada dalam usia produktif (35-65 tahun) dan mayoritas merupakan laki-laki (1.122 kasus), dampak TBC tak hanya berpengaruh pada kesehatan individu, tetapi juga ekonomi keluarga. Selama masa pengobatan awal, pasien harus absen kerja minimal dua minggu untuk mencegah penularan, yang berpotensi mengganggu produktivitas.
Andini berharap, dengan sinergi lintas sektor yang terus diperkuat, angka kasus TBC di Kudus dapat ditekan secara signifikan. “Kolaborasi yang baik dari berbagai pihak ini menjadi kunci dalam mengatasi tantangan penanggulangan TBC, demi terciptanya masyarakat yang lebih sehat dan produktif,” pungkasnya. (AS/YM)