Kudus, isknews.com – Polemik terkait pembangunan The Sato Hotel yang berlokasi di Jalan Pemuda, Kudus, masih belum menemukan titik terang hingga saat ini. Permasalahan hukum yang melibatkan pemilik hotel dengan salah satu tetangga, Beny Ongkowidjoyo, terus berlarut meskipun sudah melewati berbagai proses hukum di pengadilan.
Abednego Subagyo atau yang akrab disapa Albet, pengurus perizinan dan penanggung jawab periode tersebut sebagai pemangku kerja di PT. AYM dan tim bangunan, mengungkapkan bahwa permasalahan ini bermula sejak awal pembangunan hotel pada tahun 2017.
Menurutnya, proses perizinan telah ditempuh, termasuk persetujuan warga sekitar, sosialisasi di kelurahan, serta izin mendirikan bangunan (IMB), izin lingkungan hidup, izin dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serta izin dari Dinas Perhubungan.
“Awalnya, pembangunan berjalan dengan lancar. Namun, seminggu setelah pekerjaan dimulai, pihak tetangga mulai menegur dengan kata-kata yang tidak pantas karena mengeluhkan debu dan kotoran dari proyek,” ungkap Albet, beberapa waktu lalu.
Albet menjelaskan bahwa setelah beberapa bulan, Beny Ongkowidjoyo meminta kompensasi atas gangguan kesehatan akibat debu proyek. Tak berhenti di situ, ia juga meminta sejumlah uang dengan dalih perbaikan pintu rumah yang rusak.
Ketika permintaan tersebut tidak ditanggapi, kasus ini berlanjut dengan tuntutan hukum yang mengarah pada permintaan ganti rugi sebesar Rp4 miliar.
“Tembok semi permanen miliknya mengalami sedikit keretakan, yang kemudian dijadikan alasan untuk menuntut kami. Berdasarkan penelusuran, ada dugaan kesepakatan dengan pihak ketiga yang berencana membagi hasil dari tuntutan ini dengan persentase 40:60 jika gugatannya berhasil,” tambahnya.
Kasus ini kemudian dibawa ke Pengadilan Negeri Kudus dalam bentuk gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), tetapi ditolak. Upaya banding di Pengadilan Tinggi Semarang pun mengalami nasib serupa.
Tak berhenti di situ, pihak Beny mengajukan gugatan ke PTUN hingga Mahkamah Agung dengan alasan bahwa pembangunan The Sato Hotel telah merusak bangunan miliknya.
“Mereka merekayasa kondisi bangunan agar terlihat rusak parah, bahkan menyangga bangunan dengan kayu agar terlihat seolah-olah dalam kondisi membahayakan. Namun, motif utamanya adalah untuk mendapatkan ganti rugi finansial,” ujar Albet.
Dalam perkembangan terbaru, kepolisian telah mendatangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan pengukuran ulang lahan. Hasilnya menunjukkan bahwa pihak Beny diduga telah menggunakan tanah hotel seluas 17,5 meter persegi tanpa izin.
“Berdasarkan temuan tersebut, pihak The Sato Hotel berencana untuk melakukan gugatan pidana dan meminta pengembalian batas tanah yang sah,” terangnya.
Terkait dengan IMB, Albet menjelaskan bahwa pada tahun 2017, pihaknya mengantongi izin untuk bangunan lima lantai. Kemudian pada 2018, dia mengajukan izin tambahan untuk kolam renang, yang akhirnya disetujui oleh Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Kudus.
Bangunan hotel rampung pada tahun 2021 dan saat hendak mengurus izin operasional, PTSP meminta IMB dan izin tambahan untuk kolam renang digabung menjadi satu.
Akibatnya, diterbitkanlah IMB baru pada 2022 dengan kewajiban membayar retribusi tambahan.
“Kami merasa ini tidak adil. Ketika kami mematuhi prosedur, justru kami dituding telah membangun tanpa izin. Keputusan Mahkamah Agung mencabut IMB kami pun membingungkan, terutama karena regulasi terbaru sudah mewajibkan penggunaan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) menggantikan IMB,” tegas Albet.
Ia pun mempertanyakan apakah keputusan Mahkamah Agung benar-benar murni dari pertimbangan hukum atau ada faktor lain yang memengaruhinya.
Hingga kini, status hukum The Sato Hotel masih belum jelas, dan pihak pemilik berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan tanpa adanya intervensi dari pihak yang berkepentingan.
“Kami hanya ingin keadilan ditegakkan dan hukum berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada kepentingan lain yang bermain,” pungkas Albet. (YM/YM)