Kudus, isknews.com – Pakar digital forensik asal Kudus Solichul Huda yang juga dilibatkan oleh Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri ikut membantu pemeriksaan digital forensik dalam kasus ujaran kebencian bermuatan SARA yang dilakukan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddinberpesan bahwa Belajar dari pengancaman warga Muhammadiyah, Masyarakat kudus harus berhati-hati dalam bersosial media.
Diceritakan oleh Huda yang juga staf pengajar di Universitas Dian Nuswantoro Semarang ini, sehari sebelum pelaporan ke mabes polri, LBH PP Pemuda muhammadiyah menelepon saya konsultasi tentang alat bukti digital kasus pengancaman dan pencemaran nama baik.
“Secara profesional saya sampaikan bahwa dugaan ancaman dan pencemaran nama baik warga Muhammadiyah sesuai dengan UU ITE no. 11 tahun 2008 disempurnakan UU ITE no. 19 tahun 2016, terdapat alat bukti digital lengkap. Setelah dilaporkan oleh PP Pemuda Muhammadiyah, pada tanggal 30 April 2023 AP hasanudin ditangkap penyidik mabes polri,” kata pria yang tinggal di Desa Krandon dan lulusan S3 Ilmu Komputer ITS Surabaya. kepada media ini, Rabu (05/10/2023).
Menurut ahli digital forensi asli Kudus ini, dilihat dari jejak digital, dugaan pengancaman ini bermula dari adanya kritik terhadap perbedaan penentuan hari raya iedul fitri 1444 H. Kemudian terjadi saling komentar yang berujung pada pengancaman dan ajakan kebencian yang mengandung unsur sara. Kebetulan komentar tersebut dilakukan oleh akun AP Hasanuddin.
“Dilihat dari komentar-komentar yang ada, memang hanya akun AP Hasanuddin lah yang bisa dilaporkan dengan kedua tuduhan tersebut. Dan identitas akun AP Hasanuddin mudah dilacak keberadaan pemiliknya karena dia pegawai BRIN dan menyebut sendiri alamatnya dimana. Artinya profilingnya menjadi lebih mudah,” kata Huda yang juga ahli Digital Forensik perbankan satu satunya di Indonesia.
Dipesankannya, belajar dari kejadian ini, pertama, hendaknya masyarakat kabupaten Kudus ketika sedang marah atau emosi jangan melakukan aktifitas baik berupa tulisan misalnya chatting atau membuat konten di sosial media.
“Mengapa ? karena seringnya lupa kendali malah meluapkan emosi tersebut dengan memposting sesuatu walau sekedar membalas komentar. Seandainya postingan tersebut menyidir atau ungkapan lugas yang membuat pembaca terganggu, bisa dilaporkan. Padahal postingan tersebut tersimpan jejak digitalnya,” tutur Huda yang telah menjadi saksi ahli digital forensik sejak tahun 2012.
Menurutnya, ketika kita sudah mengunggah sesuatu atau menulis komen di sosmed, jejak digital tidak dapat dihapus. Ketika postingan melanggar UU ITE dan ada yang melaporkan, kita harus menerima konsekuensi hukum. Seperti yang dilakukan oleh AP Hasanuddin peneliti BRIN.
“Walau dia sudah meminta maaf, proses hukum tetap berjalan,” terangnya.
Kedua, ketika akan memposting atau mereposting pesan di media sosial baik di group atau diluar group, hendaknya yang diposting informasinya divalidasi dan dipikir terlebih dahulu apakah kita berhak mempoting informasi tersebut.
Ketiga, jangan mudah mengedit gambar atau video walau hanya bermaksud untuk lawakan. Bisa jadi konten tersebut bisa menyinggung orang lain atau justu masyarakat umum. Ingat kasus yang menjerat roy suryo.
Terakhir, kalau ingin membuat publik tertarik dengan kita dalam waktu singkat, sebaiknya fokus dengan ketrampilan khusus yang kita miliki. Misalnya konten yang mengulas tempat-tempat wisata di kudus, seperti singopadon, sumber, menara kudus, gunung rahtawu dam lain-lain.
“Sosial media membuat kita terkenal, kaya, namun jika tidak hati-hati justru membuat kita terjerumus ke dalam penjara,” tandas Huda. (YM/YM)