Kudus, isknews.com – Puluhan juru parkir di sejumlah ruas lahan parkir di Kudus Perubahan sistem pengelolaan parkir di Kabupaten Kudus memicu gelombang keluhan dari para juru parkir (jukir) yang selama ini menggantungkan penghidupan mereka dari titik-titik strategis jalan protokol.
Sejak 1 Juni 2025, pengelolaan lima dari sebelas titik parkir yang sebelumnya berada di bawah kendali Dinas Perhubungan (Dishub) kini berpindah ke tangan pihak ketiga, pemenang lelang resmi dari pemerintah kabupaten. Namun, transisi ini justru menyisakan kegelisahan di lapangan.
Para jukir kini menghadapi beban baru: kenaikan drastis setoran harian kepada pihak pengelola baru. Jika sebelumnya mereka hanya menyetorkan antara Rp10–20 ribu ke Dishub, kini angka itu melonjak tajam hingga Rp50 ribu per hari. Kenaikan itu dirasa berat oleh sebagian besar jukir yang merupakan pekerja harian kecil tanpa jaminan pendapatan tetap.
Joko Mulyono, perwakilan para jukir, menyampaikan keresahannya dalam keterangan pers, Selasa (10/6/2025).
“Kami rakyat kecil, kalau ditarget segitu sangat berat. Bahkan saat kondisi sepi, kami tetap dipatok setoran penuh,” ungkapnya.
Tak hanya beban finansial, para jukir juga merasa diperlakukan tidak adil. Beberapa dari mereka yang menolak mengikuti peraturan baru mendapat ancaman akan digantikan oleh orang lain, meski sebagian telah bekerja lebih dari sepuluh tahun.
“Kok seenaknya bilang kalau tidak ikut aturan akan diambil alih. Ini tidak manusiawi,” tambah Joko.
Salah satu hal yang turut mengundang tanda tanya publik adalah indikasi keterlibatan ormas dalam aktivitas penarikan retribusi. Joko menyebut, di titik-titik padat seperti Jalan Sunan Kudus, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan Ahmad Yani, ada informasi yang menyebut bahwa proses pungutan dilakukan oleh anggota Pemuda Pancasila (PP).
Namun hal itu langsung dibantah oleh Sekretaris Majelis Pimpinan Cabang (MPC) PP Kudus, Hariyanto. Ia menegaskan, tidak ada kerja sama resmi antara PP Kudus dan pemenang lelang.
“Dari MPC PP Kudus tidak ada rekomendasi. Kalau ada anggota kami yang kerja di sana, itu urusan pribadi. Tapi tidak boleh pakai atribut organisasi,” kata pria yang akrab dipanggil Tato melalui sambungan telepon.
Di tengah situasi tersebut, para jukir berharap intervensi langsung dari Bupati Kudus Sam’ani Intakoris dan Wakil Bupati Bellinda Birton. Mereka meminta agar Pemkab tidak hanya melihat sisi pendapatan daerah, tetapi juga memikirkan nasib para pekerja informal yang telah lama menjadi bagian dari sistem layanan parkir kota.
“Saya dan rekan-rekan mohon agar Pak Bupati dan Ibu Wabup bisa turun tangan. Jangan sampai kami terus ditekan dan tak punya pilihan lain,” pinta Joko.
Sementara itu, Kepala BPKAD Kudus, Djati Solechah, menjelaskan bahwa perubahan sistem setoran adalah bagian dari konsekuensi lelang. Pemenang telah menyetor dana besar di awal, dan kini mengejar target limit yang ditetapkan selama masa kontrak tujuh bulan.
“Itu sudah haknya pemenang lelang. Mereka membayar di depan dan sekarang berupaya menutup nilai kontrak. Yang penting penarikan ke pengguna parkir tetap sesuai perda,” tegas Djati.
Tarif parkir, berdasarkan Perda Kabupaten Kudus, tetap Rp2.000 untuk motor dan Rp3.000 untuk mobil. Namun, sistem internal pengelolaan antara jukir dan pemegang kontrak tidak diatur detail dalam regulasi daerah, sehingga membuka celah ketimpangan di lapangan.
Masalah lain yang mencuat adalah penarikan setoran pada hari libur, di mana penghasilan jukir jelas menurun drastis.
“Kami libur, tapi tetap harus setor. Ini semakin tidak masuk akal,” keluh salah satu jukir lain.
Isu ini menyentuh ranah keadilan sosial dan etika pengelolaan pelayanan publik. Saat Pemkab mengejar efektivitas PAD (Pendapatan Asli Daerah), para jukir justru merasa terabaikan dari sisi perlindungan sosialnya.
Di tengah ketidakpastian, satu hal yang masih mereka pegang adalah harapan.
“Kami hanya ingin tetap bekerja, makan halal dari rejeki kami sendiri. Jangan dipersulit,” ujar Joko. (YM/YM)