Oleh Penulis Guru Besar pada MPBI UMK Prof. Dr. Drs. Achmad Hilal Madjdi, M.Pd.
Kudus, isknews.com – Entah sudah dengan selebrasi apa saja hari ibu dirayakan di negara kita tercinta. Berbagai memori dan catatan kasih sayang ibu selalu tersuarakan kembali secara lantang di pekan terakhir bulan Desember. Semuanya menjadi bukti bahwa sesungguhnya dunia dan kehidupan adalah milik ibu dan dari beliau semuanya berawal.
Dalam narasi yang sederhana pun, tidak ada anak manusia yang bisa mengingkari dominasi peran ibu terhadap kehidupannya. Bahkan bahasa pertama yang dikuasai anak manusia juga disebut sebagai bahasa ibu (mother tongue) dalam teori kebahasaan. Dari ibu semua kata direproduksi oleh anak, yang kemudian dari ibu pula anak belajar merangkai kata menjadi kalimat. Ibu pula yang mengasuh anak untuk menuturkan ujaran-ujaran yang baik.
Kamus Bahasa Kehidupan
Ketersambungan kehidupan anak dari dunia bayi (balita) dengan dunia nyata disepakati para ahli bahasa terajut dengan bahasa ibu. Alasannya adalah bahwa hanya ibu yang mampu menterjemahkan semua makna ke dalam pemahaman bayi, dimulai dari tatapan lembut kasih sayang, sentuhan, senyuman dan semua gestur sampai ungkapan kata dan kalimat.
Ketika ketidakpahaman, kerisauan, rasa lapar-dahaga, dan sedih sang bayi diungkap dengan tangisan, ibu mampu menangkap, memahami dan memberikan respon terbaik untuk sang bayi. Semua itu kemudian menghadirkan tidak saja kehangatan, tetapi juga kenyamanan dan kebahagiaan bagi sang bayi.
Sebagai seorang pembelajar kehidupan dan bahasa baru, sang bayi seperti memiliki Kamus Besar paling canggih. Tak ada satupun pernik kehidupan dan kebahasaan yang tidak mendapat respon positif dari sang ibu. Tak ada satu kegalauan yang tidak dicerahkan oleh sang ibu, yang semuanya diungkapkan melalui bahasa ibu dengan segala ekspresi kasih sayangnya.
Sang Maestro Bahasa
Jika ditilik dari konsep bahasa dan pembelajaran bahasa apapun, perilaku komunikasi berbahasa sang ibu dengan anaknya disebut sebagai suatu proses imersi, di mana pembelajaran mencakup materi yang luas dengan proses yang naturalistik.
Pengalaman-pengalaman kehidupan yang realistis dan autentik tersajikan mengalir apa adanya (tanpa rekayasa) dan mendapatkan respon kebahasaan secara langsung dan apa adanya pula. Proses ini sering disebut sebagai proses “nurturing”, di mana sang pembelajar mendapat pengasuhan langsung dalam atmosfer berbahasa yang nyata dan apa adanya serta dibersamai budaya yang melingkupi dan mempengaruhi makna bahasa itu.
Menariknya, semua itu dilakukan oleh ibu tanpa kajian pustaka yang njelimet, tidak pula dengan teori kebahasaan yang rumit. Bahkan sesungguhnya, ibulah penemu dan sumber inspirasi teori bahasa dan pembelajaran bahasa. Ibu adalah sang maestro bahasa kehidupan. (AS/YM)