Kudus, isknews.com – Bagi sedulur isknews.com yang berkunjung ke Loram Kulon Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. tepatnya di Masjid Wali At-Taqwa, anda akan melihat berbagai macam tradisi yang sampai saat ini masih berlaku. Desa yang terkenal dengan warganya yang kreatif ini mempunyai tradisi yang salah satunya adalah tradisi shodaqoh Sego Kepel.
Hingga kini, tradisi sega kepel atau nasi kepel masih dilestarikan, terutama bagi warga sekitar Masjid Wali Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.
Afroh Amanuddin, selaku Juru Pelihara Gapura Masjid Wali Loram Kulon menceritakan asal usulnya Dimana tradisi itu ada kaitannya dengan kisah Sultan Hadlirin yang waktu itu turut menyebarkan agama Islam di Desa Loram Kulon.
Saat itu, lanjut Afroh, Sultan Hadlirin yang menikah dengan Ratu Kalinyamat lama belum dikaruniai, kemudian Ratu Kalinyamat mempersilahkan Sultan Hadlirin menikah lagi.
Akhirnya, Sultan Hadlirin menikah lagi dengan putri Sunan Kudus yang bernama Raden Ayu Pridobinabar.
Sultan Hadlirin pun diutus mertuanya, Sunan Kudus untuk menyebarkan Islam di bagian selatan. Saat itu Sultan Hadlirin memilih Desa Loram Kulon.
“Saat itu Sultan Hadlirin sedang proses menyelesaikan pendirian gapura Padureksa Masjid Wali ini. Kemudian didatangi seorang nenek yang baru masuk Islam,” katanya, Senin (7/3/2022).
Menurut penjelasan Afroh nenek yang baru masuk Islam itu ingin beramal. Tetapi tidak tahu mau beramal seperti apa.
“Kemudian Sultan Hadlirin menjawab pertanyaan nenek tersebut untuk membuat tujuh sega kepel dengan lauk botok dan dibawa ke Masjid Wali. Itu sekitar 1597 saat tahap penyempurnaan gapura Padureksa bagian tengah,” sambungnya.
Karenanya, sebagai wujud bersedekah atau beramal, tradisi sega kepel terus dilakukan hingga sekarang.
Seperti saat ada warga yang mempunyai hajat syukuran weton, syukuran sembuh dari sakit, membeli kendaraan, menaikkan genting rumah, membuat sumur, membangun fondasi rumah, dan lainnya. “Tradisi seperti ini kan bagus ya. Harapannya bisa terus dilestarikan,” paparnya. Ditambahkan, Masyarakat seringnya memilih jumlah ganjil, dan biasanya warga memilih angka (jumlah) tujuh. Dimaksud, jelas Afroh, Tujuh atau pitu itu adalah Pitulung atau pertolongan, pitutur atau nasehat, dan pituduh atau petunjuk. “Tradisi sega kepel biasanya diberikan warga yang memiliki hajat,” tuturnya. (AS/YM)