Kudus, isknews.com -Ringannya vonis sangsi hukuman bagi pelanggar Perda soal hiburan malam kafe dan karaoke yang dijatuhkan oleh majlis Hakim atas perkara tindak pidana ringan limpahan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Kudus ke Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kudus Klas IB beberapa pekan lalu, menyebabkan sejumlah pihak kecewa, termasuk Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Kudus.
Meski menurut mereka, pihaknya tetap menghormati apapun keputusan vonis majelis hakim terkait hal tersebut, namun diakuinya vonis tersebut dinilai belum maksimal dan berpotensi mengulang kembali pelanggaran yang sama.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Satpol PP Kudus melaui Kabid Penegakan Perda Koesnaini yang didampingi Kasi Pembinaan Pengawasan dan Penyuluhan Satpol PP Kudus Sarjono saat gelar jumpa pers terkait progress kinerja Satpol PP per Januari-Februari 2022 di ruang rapat Kantor Satpol PP Kudus.
Dikatakannya, kalau ketentuan maksimal yang ada di Peraturan Daerah (Perda) Kudus nomor 10 tahun 2015 tentang usaha hiburan, diskotik, kelab malam, pub dan penataan hiburan karaoke, tempat karaoke dilarang buka di Kudus. Hukuman maksimal 3 bulan atau denda maksimal 50 juta.
“Namun kasus yang kemarin hanya mendapat sangsi denda Rp. 1 Juta dan sejumlah barang bukti yang disita dikembalikan. Tapi apapun kita hormati itu keputusan Pengadilan,” kata dia, Rabu (02/03/2022).
Terpisah, Kepala PN Kudus Singgih Wahono dalam acara coffee morning dengan sejumlah awak media saat disinggung tentang hal tersebut mengatakan, Pengadilan perlu melakukan pertimbangan dalam memutuskan hukuman apa yang akan dijatuhkan. Singgih menyebut, hukuman bagi pelanggar Perda berbeda dengan penegakan hukum pidana biasanya.
“Perda sifatnya pembinaan. Pembinaan yang ada sanksinya. Hukumannya diutamakan sanksi moral atau dengan pidana denda. Pun dengan perampasan barang-barang yang dimiliki,” ungkapnya saat ditemui di Kantor PN Kudus, Rabu (2/03/2022).
Dalam memutuskan hukuman atau pidana, lanjut Singgih, hakim pengadilan perlu memiliki pertimbangan. Baik itu atas unsur subjektif (mental) atau juga biasanya disebut Mens Rea. Didasarkan sikap batin seseorang ketika melakukan tindak pidana.
Atau dengan menggunakan unsur objektif (physical) yaitu Actus Reus. Sebuah tindakan yang melanggar perundang-undangan.
“Nah dalam kasus tindak pidana ringan karaoke ini, apakah ada unsur niat jahat dari pelaku atau tidak. Dalam memutuskan perkara, hakim selalu punya pertimbangan. Kenapa barang bukti yang dibawa tidak dimusnahkan, kenapa tidak disita negara, dan sebagainya. Apakah dengan dihukum dan dirampas (barang-barangnya) akan memberikan efek jera (pelaku usaha),” jelasnya.
Agar tidak kembali adanya tempat karaoke buka di Kudus, Singgih mengungkapkan ada tiga unsur yang perlu benar-benar ditegakkan. Pertama, peraturan perundang-undangan yang sudah baik dan disepakati. Kedua, pemerintah kabupaten, penegak hukumnya, hakim, jaksa, polisi, Satpol-PP, dan lainnya perlu benar-benar menegakkan Perda terkait tempat karaoke ini.
“Terakhir itu masyarakat atau pelaku usaha sendiri. Tidak kembali membuka tempat karaoke di Kudus. Tiga unsur ini lah Pemda harus serius,” tandasnya. (YM/YM)