Pati, isknews.comn – Hemodialisa atau cuci darah adalah perawatan medis yang diberikan untuk menggantikan fungsi ginjal saat organ vital tersebut bermasalah. Seperti diketahui, ginjal adalah dua organ berbentuk kacang yang terletak di bawah tulang rusuk, tepatnya di sisi kanan dan kiri tulang belakang. Fungsi ginjal yang utama adalah menyaring racun, membuang limbah dan kelebihan cairan dari tubuh.
Selain itu, ginjal juga mengontrol tekanan darah, menjaga tulang agar tetap kuat, memastikan kecukupan mineral, sampai memproduksi hormon untuk membuat sel darah merah.
Gejala gagal ginjal di antaranya mual, kelelahan akut, badan bengkak, dan muntah. Kapan seorang penderita mulai dicuci darahnya tergantung pada usia, tingkat energi, kondisi kesehatan secara keseluruhan, sampai hasil tes lab.
Hal ini yang dirasakan oleh Eko Wanto, peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas dua yang saat ini menjalani cuci darah.
Asmilah istri Eko saat ditemui di Rumah Sakit Mitra Bangsa, belum lama ini menceritakan awal kondisi suaminya sebelum menjalani cuci darah.
“Pada awalnya kaki suami saya bengkak-bengkak, berat badan merunun, mengeluh sering capek, sakit pada pinggang, lalu saya periksakan ke puskesmas dan dari puskesmas dikasih rujukan ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan yang lebih mendalam,” kata Asmilah.
Asmilah menjelaskan, setelah dibawa ke rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis dalam dinyatakan bahwa suami Asmilah harus dilakukan cuci darah dua kali dalam seminggu.
Apabila fungsi ginjal semakin menurun maka harus dilakukan tindakan cuci darah atau tranplantasi ginjal. Tindakan cuci darah atau hemodialisa adalah salah satu cara untuk membantu organ ginjal tetap bisa bekerja dengan bantuan alat. Meski alat hemodialisa tidak bisa menggantikan fungsi ginjal seutuhnya, tindakan ini dapat membantu ginjal membuang zat sisa yang menjadi racun bagi tubuh.
Biasanya seseorang yang mengalami gagal ginjal kronik tahap lanjut akan membutuhkan satu sampai dengan tiga kali hemodialisa setiap minggunya, tergantung kondisi pasien dan fungsi ginjalnya. Tindakan ini berlangsung seumur hidup. Apabila tidak melakukan hemodialisis maka dapat muncul gejala seperti sesak napas, gelisah, hingga penurunan kesadaran.
“Untung saja kami sudah terdaftar sebagai peserta JKN secara mandiri aktif jadi biaya pelayanan semua ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Jika tidak ada Program JKN, saya tidak tahu harus membayar pakai uang dari mana,” tuturnya.
Biaya untuk melakukan cuci darah sendiri bervariasi, tergantung dari membran dialisis yang digunakan, serta rumah sakit yang menyelenggarakannya. Di rumah sakit swasta di Indonesia, biaya prosedur ini bisa dimulai dari Rp. 800.000 hingga lebih dari Rp. 1.500.000 per kali cuci darah.
“Waktu itu saya dikasih tahu sama pihak rumah sakit, biaya cuci darah itu kurang lebih Rp 900.000,00 untuk sekali cuci darah, dan ini suami saya dua kali seminggu sudah berjalan dari bulan Januari tahun 2023. Jika saya hitung-hitung jika bayar sendiri tidak mampu dan bisa- bisa saya jual rumah karena nyawa yang utama,” tandasnya.
Menurut Asmilah, keselamatan yang paling utama terlebih lagi untuk orang yang disayangi apapun akan dilakukan entah bagaimana caranya. Dengan adanya Program JKN, dia bersyukur sudah membantunya dalam pembiayaan pengobatan suaminya dan terhindar dari keadaan ekonomi yang buruk.
“Saya bersyukur dan berterima kasih kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan karena dengan adanya Program JKN keluarga kami tertolong. Biaya pelayanan kesehatan suami saya ditanggung dan kami terhindar dari kemiskinan,” ujarnya.(*/mel)