Gabung JPPA Tiga Kampus di Kudus Dampingi Santri Korban Kekerasan di Ponpes

oleh -2,239 kali dibaca
Rapat bersama, UMK, UMKU dan IAIN siap bersam JPPA dampingi korban kekerasan anak di Kabupaten Kudus (Foto: istimewa)

Kudus, isknews.com – Kasus hukuman celup tangan ke air panas bagi santri yang kedapatan melakukan pelanggaran aturan pondok pesantren, sehingga sempat menyebabkan dua santri tangannya melepuh dan salah satunya sempat dirawat di Rumah Sakit Soewondo Pati, kini menjadi sorotan dari sejumlah pihak.

Tiga perguruan tinggi di Kabupaten Kudus turun tangan membantu Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) yang melakukan pendampingan kepada santri korban kekerasan di Ponpes Anfaul Ulum Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.

Akibat kekerasan oknum pengasuh pondok itu, tangan korban melepuh setelah mendapatkan hukuman tangannya dicelupkan ke air panas. Selain tangan melepuh, Korban kini mengalami trauma pasca kejadian.

Tiga perguruan tinggi di Kudus yang gabung dengan JPPA yakni Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus, IAIN, dan Universitas Muhammadiyah Kudus (UMK). Bersama JPPA, mereka menggelar diskusi membedah kasus tersebut sekaligus menentukan langkah apa untuk mengawal kasus tersebut.

Dekan FH UMK Hidayatullah mengatakan, kasus kekerasan santri ini harus ditangani secara serius karena sudah menjadi perhatian luas terhadap dunia pendidikan di Kabupaten Kudus.

“Jangan sampai ada kesan kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk pondok pesantren adalah hal yang lumrah dan biasa. Jika demikian diharapkan kasus tersebut berpotensi akan terus berulang karena tidak ada efek jera,” katanya, Senin (10/06/2024).

Apalagi dalam kasus ini, korban sampai mengalami cacat fisik dan butuh biaya rumah sakit yang tentunya tidak sedikit.

“Kasus ini menjadi momentum untuk menunjukkan kepada pengelola lembaga pendidikan, bahwa jika kasus serupa berakhir dengan mediasi, dikhawatirkan tidak ada efek jera. Karena itu kami berkepentingan melakukan pendampingan pada kasus ini,” katanya.

Hidayatullah mengatakan, pihaknya bersama dua kampus lainnya akan menerjunkan paralegal untuk bersama-sama tim hukum JPPA Kudus mengawal kasus tersebut.

Melihat kondisi korban, kata Hidayatullah, tentu tidak bisa menjadi alasan jika nanti kasus tersebut diselesaikan melalui upaya restorative justice (perdamaian).

Hidayatullah menambahkan, pendampingan perguruan tinggi ini diharapkan tak berhenti pada kasus yang menimpa santri Ponpes tersebut.

Lebih dari itu, perlu adanya upaya preventif melalui sosialisasi di lembaga pendidikan baik sekolah maupun Ponpes, yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh perguruan tinggi.

Sementara itu, Ketua JPPA Kabupaten Kudus Noor Haniah mengatakan kehadiran tiga perguruan tinggi ini menjadi semangat baru bagi JPPA untuk melakukan pendampingan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Kudus.

“Tidak hanya kasus santri ini saja, JPPA saat ini menangani sejumlah kasus kekerasan yang korbannya adalah perempuan dan anak. Dengan keterlibatan perguruan tinggi ini diharapkan semakin banyak yang peduli pada isu-isu ini,” katanya.

Haniah menambahkan, ada informasi yang ditutupi dalam peristiwa ini. Termasuk belasan korban lainnya yang mendapat hukuman serupa. Jumlah santri yang mendapat hukuman pun berbeda antara keterangan dari Ponpes dan pihak Kepolisian.

“Selain itu keluarga korban juga mulai mendapat tekanan agar kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi kehadiran tiga perguruan tinggi ini yang akan bergabung dengan JPPA dan tim hukum kami, sangat penting untuk mengawal hak-hak korban,” katanya. (YM/YM)

KOMENTAR SEDULUR ISK :

No More Posts Available.

No more pages to load.