Kudus, isknews.com – Peringati Haul Raden Syifauddin atau Mbah Buyut Sipah, ratusan warga Desa Karangrowo arak gunungan dan tombak yang menjadi benda peninggalan Mbah Buyut Sipah, Kamis (12/09/2019). Kirab yang dilakukan warga desa ini dilakukan mengelilingi desa dengan memikul gunungan hasil bumi serta tumpeng hingga ke sebuah lahan persawahan untuk didoakan oleh pemuka agama setempat.
Heri Darwanto Kepala Desa Karangrowo menjelaskan kegiatan haul Mbah Buyut Sipah itu sebagai penghormatan kepada tokoh yang melakukan babat alas kawasan rawa tersebut hingga menjadi sebuah kawasan pedesaan bernama Karangrowo.
“Ini merupakan kirab yang kedua kami lakukan, meski tidak sebesar tahun lalu dimana kami sempat mempergelarkan sendratari yang mengisahkan berdirinya Desa Karangrowo oleh Raden Syifauddin yang kemudian dikenal sebagai mbah buyut Sipah,” terangnya.
Sejumlah warga Nampak sangat antusias mengikuti pawai kirab budaya mengikuti rute perjalanan yang dilakukan oleh kakek buyut mereka saat menemukan Desa yang dahulunya merupakan kawasan rawa-rawa ini.
“Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat mempererat tali persaudaraan dan kesatuan di masyarakat,” tandasnya.
Rangkaian acara terus berlanjut dengan kirab dua buah tombak peninggalan Mbah Buyut Sipah dan gunungan hasil bumi yang diakhiri dengan perebutan isi gunungan.
“Saya memang ikut berjubel-jubel meperebutkan sayuran dan buah-buahan ini, karena kami mempercayai ini semua mengandung berkah bagi kami dan warga desa sini,” ucap Eka Salis Putri (18) remaja putri dari RW 2 usai berhasil meraih sejumlah buah-buahan dari gunungan yang diperebutkan puluhan warga.
Kepala Desa Karangrowo itu menjelaskan sekelumit kisah asal usul Desa karangrowo yang diawali saat pemberontakan yang dilakukan sejumlah kadipaten bekas Kasultanan Pajang, hingga menggiring Raden Syifauddin datang ke Kudus guna meredakan gejolak masyarakat di wilayah tersebut.
Pembuka ingatan. Sepeninggalnya Sultan Trenggana, Kerajaan Pajang dipimpin oleh Sunan Prawoto. Pada saat itu terjadi sebuah pembunuhan Raja Pajang yang dilakukan oleh Arya Penangsang, karena ia merasa lebih pantas untuk menggantikan Sultan Trenggana dibandingkan Sunan Prawoto.
Setelah berhasil membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang tidak serta merta diangkat menjadi Raja Kerajaan Pajang. Tahta Kerjaan waktu, justru jajtuh ditangan Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, yang merupakan menantu dari Sultan Trenggana. Penobatan Sultan Hadiwijaya sebagai Raja karena istrinya Ratu Kalinyamat merupakan anak pertama dari Sultan Trenggana.
Melihat Hadiwijaya diangkat menjadi Raja Kerjaan Pajang. Arya Penagsang kemudian menuntut haknya sebagai Raja Kerajaan Pajang, dengan menyusun strategi untuk membunuh Hadiwijaya dan melakukan sejumlah perlawanan kepada Kerajaan Pajang. Kemudian Sultan Hadiwijaya melakukan sebuah sayembara untuk membunuh Arya Penangsang. Dalam sayembara tersebut, ia akan menghadiahkan tanah mentarok.
“Sayembara tersebut akhirnya dimenangkan oleh Ki Ageng Pamanahan. Setelah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dan memindahkan pusat Kerajaannya dari Demak ke Pajang. Sultan Hadiwijoyo memenuhi janjinya dengan memberikan tanah mentarok kepada Ki Ageng Pamanahan” ungkapnya.
Karena tanah tersebut masih berupa hutan belantara, Ki Ageng pamanahan harus bekerja ekstra melakukan babat alas di daerah tersebut. Bersama Sang Putra, Danang Sutowijoyo, mereka lakukan babat alas dan membangun pemukiman, hingga terbentuklah sebuah daerah yang bernama Mataram. Oleh Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pamanahan diangkat sebagai Adipati Mataram, yang merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Pajang. Setelah Ki Ageng Pamanahan wafat, tapuk pemerintahan Mataram dilimpahkan kepada Danang Sutowijoyo selaku anaknya.
“Di tangan Danang Sutowijoyo, mataram berkembang pesat dan berhasil menguasai daerah disekitarnya. Kemajuan mataram ini, sebagian petinggi Kerajaan Pajang menganggap Danang Sutowijoyo mangkir dari Kerajaan Pajang dan dicurigai membangun sebuah kerajaan baru. Untuk mengetahui hal tersebut, Sultan Hadiwijaya menyuruh Ki Ageng Gedhe Wotan ke Kudus dan Ki Ageng Semampir ke Pati untuk menyelidiki mataram” katanya.
Perjalanan untuk mengintai mataram di mulai, dengan membawa keluarganya mereka menjalankan misi tersebut. “Dari sini perjalanan Mbah Buyut Sipah atau Raden Syifauddin atau Ki Ageng Gedhe Wotan dan keluarganya dimulai. Menuju Kudus, ia dan keluarganya menaiki sebuah getek menyusuri Selat Muria. Namun nasib naas menimpa mereka, tepatnya di daerah Prawoto, mereka terpisah,” ungkap Heri.
Ki Ageng Gedhe Wotan dan anaknya harus terpisah dengan Sang Istri. Meskipun demikian, mereka tetap melanjutkan perjalanan tersebut. Ditengat perjalanan, anak Ki Ageng Gedhe Wotan digoda oleh demit, karena ketakutan anak tersebut menangis keras. Ki Ageng Gedhe Wotan lalu menenangkannya dengan membacakan doa-doa. Setelah anakanya berhenti mengis, dirinya mensabda jika nantinya daerah tersebut diberi nama Banglong Gadangan.
Ki Ageng Gedhe Wotan dan anaknya lantas meneruskan perjalanan ke Selatan. Lama dan jauhnya perjalanan membuat anaknya lapar. Di tepikan geteknya dan dibuatkannya sebuah makanan untuk Sang Anak. Karena makanan tersebut dimasak menggunakan kereweng (peralatan masak dari tanah liat -red), maka daerah tersebut diberi nama Banglong Kreweng.
Dilanjutnya perjalanan tersebut hingga sampai pada sebuah daerah yang sempit hingga menyebabkan geteknya tidak dapat melaju lantaran tercepit oleh rapatnya pepohonan. Daerah tersebut kemudian diberi nama Banglong Cepit. Lalu ia dan anaknya putuskan untuk berjalan menyusuri sebuah rawa dan menghantarkan mereka pada sebuah daerah yang bernama Wonosari (nama sebelum karangrowo -red).
Di sana ia melihat banyak sekali burung betet yang bertengger di pepohonan, sehingga daerah tersebut diberi nama Betetan. Akhirnya di sana ia dan anaknya memutuskan untuk bermukim. Suatu ketika di daerah Betetan terjadi sebuah pagebluk (wabah penyakit yang menyebabkan banyak orang meninggal dalam waktu singkat -red).
Akan tetapi dengan kehendak Tuhan, Ki Ageng Gedhe Wotan dan anaknya berhasil selamat. Setelah itu, mereka memutuskan untuk berpidah ke sebelah utara dekat dengan sungai. Dari sanalah berkembang keturunan Ki Ageng Gedhe Wotan hingga menjelma sebagai sebuah Desa yang diberi nama Karangrowo.
“Nama Karangrowo diambil dari kata Karang yang berarti tempat dan Rowo yang berarti rawa. Nama ini dipilih lantaran pada zaman itu daerah ini berupa rawa yang membentang luas,” pungkasnya.
Rangkaian acara terus berlanjut dengan kirab tombak peninggalan Mbah Buyut Sipah dan gunungan hasil bumi, berkeliling kampung pada Kamis (28-09-2018). Lalu acara dilanjutkan dengan pengajian umum pada malam harinya.
Dengan adanya rangkaian acara ini, dirinya berharap masyarakat Karangrowo tidak melupakan leluhurnya. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat mempererat tali persaudaraan dan kesatuan di masyarakat. (YM/YM)